Ritual Saiso Masyarakat Wewewa, Pemenuhan Janji Manusia kepada Leluhur

ritual saiso
Ritual Saiso di Puukapaka, Desa (persiapan) Dede Katoda, Wewewa Barat, SBD. (ist)

WEETEBULA | patrolipost.com – Kehidupan masyarakat Wewewa di Sumba Barat Daya (SBD) sangat kental dengan adat istiadat. Oleh karena itu, ada berbagai jenis ritual sakral yang harus dijalankan, salah satunya ritual Saiso.

Menurut salah satu tokoh adat setempat yang biasa dipanggil Rato, ritual Saiso ada karena janji yang diberikan manusia kepada leluhur dan untuk mengembalikan jiwa orang yang meninggal secara tidak wajar ke alam Marapu.

Bacaan Lainnya

“Sebelum ritual Saiso dilakukan, masyarakat terlebih dahulu menggelar urrata untuk mengetahui jawaban para Marapu tentang Saiso,” jelas Rato di Wewewa Barat, Minggu (7/1/2024).

Menurut Rato, Saiso terjadi karena dua hal yaitu  karena ada janji dan berikutnya untuk mengembalikan jiwa orang yang meninggal secara tidak wajar.

“Motif melakukan ritual Saiso adalah karena adanya janji yang harus ditepati dan juga untuk menenangkan jiwa keluarga yang meninggal secara tidak wajar maka arwahnya harus dikirim ke alam para Marapu,” imbuhnya.

Sementara itu, Marapu yang menjadi cikal-bakal sekelompok suku menempati tingkat yang tinggi.  Marapu dalam kepercayaan adat Wewewa mempunyai kedudukan yang tinggi. Namun demikian, masih ada ‘Dia’ yang lebih tinggi dari Marapu yakni Magholo-Marawi (Tuhan).

Magholo-Marawi sebagai yang mencipta seisi alam semesta, yang membentuk dan memberi kehidupan, yang bertelinga dan bermata Maha Besar.

Istilah-istilah terkait eksistensi  ‘Dia’ sang Pencipta Alam Semesta  diucapkan secara berpasangan dalam bait-bait bahasa adat. Semuanya menyatakan pengakuan adanya Yang Ilahi, Yang Esa, Sang Pencipta yang pantang disebut namaNya.

Sementara itu, kedudukan para Marapu adalah menjadi perantara atau media antara manusia dengan Allah Yang Maha Kuasa di dalam penyampaian segala bentuk doa atau upacara-upacara. Dalam hal ini mereka melaksanakannya dalam rumah-rumah adat yang disebut oleh masyarakat sebagai Umma Rato.

Tujuan semua ritus beserta segala persiapannya lanjut Rato, yakni supaya Marapu mengembalikan atau mengalihkan jiwa orang yang meninggal tidak wajar tadi kepada tempat yang layak atau dalam bahasa setempat disebut Wano Kalada, atau dunia yang tidak nampak (kabaila ro’o).

Kalau pada suatu pagi sudah nampak bekas, terus tangga itu dipotong, supaya jiwa atau semangat yang sudah kembali jangan pulang kembali ke atas. Pada saat itulah upacara Saiso dilakukan dengan mengundang loloka-ndam (ipar biras) dan para undangan lain dengan menentukan waktu penutupan upacara selambat-lambatnya empat hari atau secepat-cepatnya dua hari.

“Pada hari yang ditentukan dilakukanlah tunu-teba dengan mempersembahkan sirih pinang, makanan dan minuman kepada Magholo-Marawi (Tuhan) serta para leluhur, daging kerbau dan babi yang telah disembelih kemudian dibagi-bagikan kepada para undangan dan para hadirin,” lanjut Rato.

Orang Wewewa meyakini bahwa apabila pada tameng yang ditaburi abu sudah nampak bekas atau jejak kaki, maka orang yang meninggal secara tidak wajar telah kembali memasuki Kampung Besar atau yang disebut Wano Kalada.

Dalam masyarakat Wewewa sebagai perlambang bahwa individu yang bersangkutan yang dalam konteks ini yakni orang yang meninggal secara tidak wajar dilahirkan kembali atau telah memasuki Wano Kalada (Kampung Besar) suatu dunia yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan maka diadakan acara “syukuran” makan bersama dengan para tamu undangan atau pendukung (loloka) dari upacara atau ritus ini. (pp04)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.