Kawin Paksa di NTT, Potret Tradisi Kuno yang Kini Terbentur Perubahan Zaman

kawin paksa
Proses penculikan perempuan berinisial D yang jadi korban kawin tangkap. (net)

BORONG | patrolipost.com – Akhir-akhir ini sebuah video viral memperlihatkan tradisi ‘kawin paksa’ di Sumba Barat Daya (SBD). Dalam video yang sudah disebar di berbagai platform media sosial memperlihatkan seorang gadis yang diketahui berinisial D sedang berada di pinggir jalan. D pada saat itu menunggu pamannya yang berhenti untuk membeli rokok di pertigaan Wowara, Desa Waimangura, Sumba Daya Barat. Tiba-tiba beberapa orang menangkap perempuan tersebut dan mengangkatnya ke sebuah mobil pick up.

Beberapa orang ikut naik sebelum pick up tersebut tancap gas. Orang-orang di pick up tersebut pun sempat terdengar berteriak dengan yel-yel khas Sumba, pakalaka. Lalu, tidak jauh dari situ beberapa orang dengan sepeda motor dan satu pick up lain pun ikut rombongan penculik.

Bacaan Lainnya

“Itu kawin paksa nih, kasihan dong,” ungkap perekam video yang mengabadikan moment tersebut dari jarak yang cukup jauh.

Menurut seorang perempuan asal SBD yang ikut suaminya di Manggarai, Margareth (30), tradisi kawin paksa memang lazim terjadi di sana. Namun tradisi ini sudah lama tidak dipraktekkan.

“Kawin paksa dilakukan jika si calon suami dan orangtuanya serta orangtua perempuan sudah sepakat, namun si perempuannya masih tidak mau,” jelas Margareth.

Lanjut Margareth, kawin paksa juga dilakukan jika permintaan belis (mahar) dari keluarga perempuan sangat mahal.

“Dengan menangkap si perempuan, harapannya besaran belis bisa dikurangi,” imbuhnya.

Tradisi kawin paksa sebenarnya bukan hanya di Sumba. Dulu di Manggarai pun ada tradisi kawin paksa.

“Jika kedua keluarga laki-laki dan perempuan sudah sepakat namun si perempuannya yang tidak mau, maka dilakukan pemaksaan dan penyiksaan agar si perempuan berubah pikiran,” ungkap Yustina (56) kepada patrolipost.com, Sabtu (9/9/2023).

Pemaksaan tersebut berupa penyiksaan terhadap si gadis yang dinamakan dengan ‘kemeng’. Kemeng adalah menyelipkan batang kayu sebesar jari kelingking di setiap sela jari tangan lalu jari-jari tangannya diikat menjadi satu, sehingga menimbulkan rasa sakit. Setelah proses kemeng lalu kedua tangan perempuan tersebut diikat.

Kemeng dilakukan di rumah keluarga perempuan, calon suami yang dia tolak pun ada di situ. Tidak ada yang boleh membantu si gadis kecuali si pemuda yang menjadi calon suaminya. Bahkan saudara, kakak dan adiknya pun tidak boleh membantunya.

“Jika si gadis memanggil nama calon suami yang tidak dicintainya untuk membantunya, maka itu jadi tanda bahwa dia sudah berubah pikiran dan setuju untuk dinikahkan dengan lelaki yang pada awalnya ditolak,” pungkas Yustina.

Sekarang, tidak ada lagi praktek kawin paksa di Manggarai Raya. Pemuda dan pemudi memilih jodoh berdasarkan pilihan sendiri yang dilandasi rasa saling cinta. (pp04)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.