ICW: Dalih MA Sunat Vonis Eks Bupati Tak Bisa Diterima Akal Sehat

(ilustrasi/net)

JAKARTA | patrolipost.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik Mahkamah Agung (MA) karena menyunat vonis eks Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Manalip, dari 4,5 tahun menjadi 2 tahun penjara. ICW menilai alasan MA memotong hukuman Sri Wahyumi karena barang suap belum diterima tak bisa diterima akal sehat.

“Terobosan hukum yang dijadikan dalih oleh Mahkamah Agung ketika memperingan hukuman mantan Bupati Talaud dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) sangat janggal dan tidak bisa diterima oleh akal sehat,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dilansir, Kamis (10/6/2021).

Kurnia kemudian menjelaskan 3 hal perihal suap. Pertama, dalam kasus suap barang tidak harus sudah ada di tangan penerima, namun merujuk pada adanya kesepakatan.

“Pertama, dalam konstruksi pasal terkait dengan penyuapan (Pasal 12 huruf a UU Tipikor), disebutkan bahwa penerimaan uang/barang tidak mesti diterima secara langsung oleh seorang penyelenggara negara, melainkan jika sudah ada kesepakatan sebelumnya tetap dapat diproses hukum,” jelas Kurnia.

“Kedua, hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana lebih rendah ketimbang pidana penjara minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Bayangkan, pasal tersebut mengatakan bahwa majelis hakim hanya dibenarkan menjatuhkan vonis diantara rentang waktu 4-20 tahun penjara atau seumur hidup kepada pelaku korupsi. Alih-alih itu dilakukan, MA malah memperingan hukuman menjadi 2 tahun penjara,” imbuhnya.

Selain itu, Kurnia mengatakan hukuman Sri Wahyumi lebih ringan dari pada perantara suap. Hal itu dipertanyakan oleh ICW.

“Ketiga, hukuman Bupati Talaud jauh lebih rendah ketimbang perantara suap, yakni Benhur Lalenoh. Dalam logika hukum pidana, bagaimana mungkin pelaku dengan level perantara hukumannya lebih berat ketimbang penerima suap yang notabene juga merupakan seorang penyelenggara negara?” tegasnya.

Kurnia mengatakan sejak lama ICW sudah mendesak Ketua MA untuk mengawasi hakim dalam persidangan PK. Sebab, ada beberapa putusan PK yang justru menyunat vonis para koruptor.

“Sejak awal ICW sudah mendesak agar Ketua MA mengawasi hakim-hakim yang menjadi majelis di persidangan PK. Sebab, kami menemukan ada beberapa hakim yang selalu mengurangi putusan PK para koruptor. Akan tetapi, sepertinya Ketua MA memang tidak menaruh perhatian lebih terhadap isu pemberantasan korupsi,” tutur dia.

“Jika putusan MA terus menerus seperti ini, ICW meyakini para koruptor tidak akan pernah takut untuk mencuri uang masyarakat,” lanjutnya.

MA sebelumnya menyunat hukuman Sri Wahyumi Manalip, dari 4,5 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara. MA mengungkap alasan penyunatan adalah barang bukti suap yang disiapkan penyuap belum sampai ke tangan Sri.

“Ternyata dan terbukti Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana sama sekali belum menerima barang-barang tersebut. Jangankan menerimanya, ternyata Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana sama sekali belum pernah melihat barang-barang tersebut, karena Bernard Hanafi Kalalo dan Benhur Laenoh sebelum menyerahkan barang dimaksud terlebih dahulu telah ditangkap petugas KPK di Hotel Mercure – Jakarta,” ujar majelis PK yang diketuai Suhadi, dengan anggota Eddy Army dan M Askin. (305/dtc)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.