Tukang Parkir, antara Padang dan Bali

zilan 22ccxxxx
Zhilan Zhalila, mahasiswi Sastra Indonesia Unand, program Credit Earning MBKM Universitas Udayana Bali. (ist)

Oleh: Zhilan Zhalila

(Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia Unand,
saat ini mengikuti program Credit Earning MBKM di Univ Udayana Bali)

 

Juru parkir atau populer disebut sebagai tukang parkir, kini semakin menjamur di Kota Padang, Sumatera Barat. Berhenti di bahu jalan, langsung ada tukang parkir. Tak jarang bayarannya mencapai Rp 5.000 walau berhenti sebentar. Jika hari libur, bayaran bisa dipatok lebih tinggi, terutama di kawasan obyek wisata.

Ilustrasi itu, banyak terjadi di sejumlah objek wisata dan pusat keramaian Kota Padang. Tak jarang mereka muncul ketika kendaraan hendak jalan. Saat masuk atau ketika hendak parkir, mereka sering tidak terlihat atau tidak bertindak apa pun melayani kendaraan yang akan masuk. Belum lagi ketika kendaraan hendak keluar, kebanyakan tukang parkir hanya melihat atau sesekali melambaikan tangannya kepada pengendara. Belum sempurna keluar, uang sudah diberi, mereka sudah hilang lagi. Hal itu memicu rasa keresahan banyak warga terhadap tukang parkir yang tidak bertanggungjawab.

Pemandangan di Padang, berbeda dengan apa yang penulis temukan di Pulau Dewata, Bali. Umumnya di sejumlah objek wisata dan toko-toko besar mempunyai tukang parkir sendirinya. Lengkap dengan “alat tempurnya” berupa bendera berwarna merah dan kuning, lampu stick merah menyala, dan tak lupa peluit yang dapat menghentikan laju kendaraan.

Alat tempur yang digunakan para tukang parkir ini, membuat pengunjung tidak lagi was-was kehilangan motor hingga hilangnya mereka setelah diberi uang. Mereka dengan sigap membantu kendaraan jika mengalami kesusahan dan tentunya menyelesaikan pekerjaan mereka secara tuntas.

Tarif parkir yang dibayar, bagi penulis, tergolong sangat murah dengan pelayanan yang mereka berikan kepada para pelanggan. Ketika penulis hendak balik setelah berbelanja, penulis mengeluarkan uang Rp 5.000 dengan harapan uang tersebut akan kembali Rp 3.000 atau bahkan tidak balik sama sekali, seperti yang sering penulis rasakan sebelum menginjakkan kaki di Pulau Seribu Pura.

Pembayaran parkir yang penulis berikan, ditembalikan sebesar Rp 4.000 sehingga membuat penulis ‘melongo’. Tarif parkir hanya Rp 1.000. Setelah itu, motor dibantu dikeluarkan, dibantu menyeberang jalan dan memastikan bisa menyeberang dengan baik meninggalkan tersebut.

Setiap tukang parkir di Bali, terlebih di Denpasar, umumnya menggunakan seragam berwarna biru dongker, dengan nomor aduan pelanggan dibagian belakangnya. Itu hal yang sangat jarang ditemui di Padang. Kebanyakan mereka hanya menggunakan rompi atau hanya baju kaos yang tidak ada tanda-tanda sebagai tukang parkir. Tentunya dengan ada nomor aduan di belakangnya dapat membuat para pelanggan lebih nyaman dan memiliki pusat pengaduan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kendaraan mereka.
Ah, mengapa tiba-tiba saja penulis teringat kepada Kota Padang Tercinta?*

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.