Sidang Sengketa Tanah di Pulau Serangan, Penggugat Sebut Saksi dari PT BTID Berbohong

sengketa tanah
Suasana sidang sengketa tanah Pulau Serangan di Pengadilan Negeri Denpasar. (ist)

DENPASAR | patrolipost.com – Kuasa hukum penggugat Siti Sapurah SH menyebut saksi Moh Usman (51) dan Muhayat (43) yang dihadirkan pihak tergugat PT BTID dalam sidang sengketa tanah di Pulau Serangan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Senin (13/5) berbohong. Sebab, ketika Ketua Majelis Hakim Gede Putra Astawa SH MH mempersilakan penggugat untuk bertanya kepada saksi jawabannya lebih banyak tidak tahu. Padahal Usman sendiri pernah menjabat sebagai Kepala Lingkungan Kampung Bugis periode 1998-2008.

“Saksi kemarin banyak bohong. Saya duga saksi diskenario karena mereka dulu penggugat, tetapi di sidang mengaku sebagai tergugat, digugat oleh Sarah, dia balik ceritanya,” ungkap Siti Sapurah ketika dikonfirmasi, Selasa (14/5/2024).

Bacaan Lainnya

Saat persidangan, Siti Sapurah mempertanyakan kepada saksi tentang pengetahuan saksi saat dilakukan penutupan jalan tersebut. Saksi menjawab mengetahui hal tersebut. Namun saat ditanya lebih lanjut, mengenai dalih penutupan jalan dan batas pasti dari objek sengketa, saksi seakan menghindar dengan menjawab tidak tahu. Begitu pula, ketika Siti Sapurah menanyakan sejumlah pertanyaan lain yang terkait dengan tanah sengketa itu, lagi-lagi saksi mengelak dan menjawab tidak tahu.

“Saksi selalu menjawab tidak tahu, ya saya tidak akan melanjutkan mengajukan pertanyaan lagi,” ujarnya.

Wanita yang akrab disapa Ipung ini menegaskan, bahwa saksi yang dihadirkan tergugat itu sudah jelas banyak bohongnya. Sebab saksi itu penduduk asli Serangan yang dulu pernah menggugat Haji Maisarah, jadi tahu persis mengenai tanah yang menjadi objek sengketa.

“Tapi ketika ditanyakan, selalu menjawab tidak tahu dan tidak tahu. Jadi apa yang mau saya tanyakan, kalau setiap pertanyaan saya, terus saja dijawab tidak tahu oleh saksi?” katanya.

Ia berharap agar majelis hakim dapat bersikap independen dalam kasus ini. “Saya ini orang kecil dan hanya anak nelayan di Pulau Serangan. Saya ingin sekali hakim melihat kenyataan saat dilakukan pemeriksaan setempat, dimana saat itu antara tanah objek sengketa dan lahan PT BTID, malah dikatakan tergugat sendiri yang menjelaskan kalau bukanlah objek yang sama. Hal ini juga sudah disinkronkan dengan saksi yang saya bawa sebelumnya. Jadi semoga hakim melihat kebenaran yang sebenarnya. Kalau dalam kasus ini, jika pihak saya dikalahkan, rasanya tidak ada lagi keadilan di bumi ini. Susah mencari keadilan, sulit jadinya mempercayai bahwa orang benar niscaya akan menang,” urainya.

Kasus ini telah mencuat sejak tahun 2009 silam, ketika lahan dengan sertifikat Nomor 69 yang luasnya 94 are milik Maisarah digugat oleh 36 KK warga Kampung Bugis Serangan ke PN Denpasar. Begitu juga pipil tanah yang luasnya 1 hektare 12 are. Dalam gugatan tersebut, pihak Maisarah atau ibunda dari Siti Sapurah selalu menang hingga ke Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali (PK) juga ditolak. Atas putusan pengadilan yang mengikat ini, Ipung menunjukkan berbagai dokumen kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar, seperti 15 putusan pengadilan hingga tahun 2020, foto copy pipil tanah seluas 1 hektar 12 are dan pajak tanah seluas 2 hektare 18 are, serta foto peta tanah.

Sementara PT BTID hanya berpegang teguh pada SHGB Induk Nomor 41 Tahun 1993 atau HGB Nomor 81, 82, 83 atas nama PT BTID. Melalui hal ini diatur tentang jalan lingkar luar di Pulau Serangan dengan PT BTID sebagai pihak pertama dan Desa Adat Serangan sebagai pihak kedua. Jalan lingkar luar itu mulai dari pintu masuk Pulau Serangan melewati Pura Sakenan sampai Tanjung Inyah terus ke Timur lalu ke Utara sampai tempat Melasti dan berhenti di penangkaran penyu yang panjangnya 2.115 km. “Bagaimana mungkin jalan lingkar luar ini melompat, melewati lahan orang lain. Dan mengenai HGB juga tidak bisa digunakan untuk selamanya karena itu sama dengan kontrak atau sewa,” pungkas Ipung. (007)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.