Sidang Kasus Penistaan Nyepi, Penasihat Hukum: Portal Bukan Simbol Agama

sidang kasus nyepi
Sidang pembacaan pledoi terdakwa perkara penistaan agama saat Nyepi di Desa Sumberklampok, Rabu 22 Mei 2024. (cha)

SINGARAJA | patrolipost.com – Persidangan atas kasus perkara penistaan agama saat Nyepi 2023 lalu di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng dengan terdakwa Acmat Saini (51) dan Mokhamad Rasad (57) di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja, Rabu 22 Mei 2024 memasuki agenda pembacaan pledoi atau pembelaan. Melalui penasihat hukumnya kedua terdakwa meminta kepada majelis hakim agar dibebaskan dari segala tuntutan. Terdakwa Saini dan Rasad diketahui didakwa Pasal 156a KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam pledoi setebal 59 halaman yang dibacakan Agus Samijaya selaku Penasihat Hukum kedua terdakwa dijelaskan secara detail rumusan hukum berdasar fakta persidangan baik dari saksi, ahli, hingga terdakwa serta barang bukti, yang dikajinya secara yuridis. Dalam pledoinya disebutkan bahwa pasal yang digunakan untuk menjerat terdakwa adalah agama yang dianut di Indonesia, bukan orang atau golongan warga tertentu.

Bacaan Lainnya

Sementara dalam peristiwa yang terjadi pada 23 Maret 2023 lalu, dua terdakwa ini hanya memukul dan membuka portal milik Taman Nasional Bali Barat (TNBB), yang menjadi penghalang akses jalan masuk menuju Pantai Segara Rupek. Sehingga portal tersebut bukan merupakan tempat ibadah, kitab suci, ataupun simbol dari agama tertentu yang ada di Indonesia.

Menurut Agus seruan FKUB Nomor : 400.8/03/II/FKUB BLL/2023 tanggal 10 Maret 2023  bukanlah suatu produk hukum sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan Udang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang  Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia yang bersifat mengikat seluruh warga negara.

“Sehingga pelanggaran terhadapnya tidak dapat digunakan untuk mempidanakan pelanggarnya. Seruan FKUB hanya bersifat norma etika dan moral.  Dan tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk melakukan kriminalisasi atas nama agama,” tegas Agus Samijaya.

Lebih lanjut disebutkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum kesatu dalam insiden memukul portal dengan telapak tangan oleh  Mokhamad Rasad dan membuka portal milik TNBB pada saat hari raya Nyepi 1945 Saka di Jalan menuju Pantai Segara Rupek oleh Acmat Saini sebagaimana diatur dalam Pasal 156 a KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

“Apalagi kasus tersebut telah diselesaikan melalui musyawarah kekeluargaan diantara para pelapor dan para terlapor yang dituangkan ke dalam surat perdamaian yang diketahui oleh Bendesa adat, Ketua Takmir Masjid, Kepala Desa serta tokoh masyrakat, sebagai tindak lanjut dari hasil Keputusan Paruman Agung Desa Adat Sumberklampok. Bahkan Laporan Polisi terkait masalah tersebut sebenarnya telah dicabut oleh pelapor,” papar Agus.

Sedangkan soal pembukaan dan pemukulan portal yang salah satunya dijadikan dalil tuntutan, menurut Agus  portal tersebut bukan merupakan tempat ibadah, kitab suci, ataupun simbol dari agama tertentu yang ada di Indonesia.

“Jelas-jelas para terdakwa hanya melakukan buka portal. Yang satu memukul portal dengan telapak tangannya, kemudian ada yang membuka tali portal. Pertanyaan saya sekarang, portal itu simbol agama, tempat ibadah, kitab suci atau bukan?” imbuh Agus usai persidangan.

Agus juga menuturkan bila perbuatan para terdakwa itu sama sekali tidak ada niat maupun maksud dan tujuan untuk menodai agama tertentu, khususnya agama Hindu yang saat itu melaksanakan Hari Suci Nyepi. Bahkan katanya yang termasuk perbuatan pidana adalah tindakan yang melawan hukum yang diatur Undang-Undang (UU). Yang bila diurutkan, perundang-undangan yang diakui di Indonesia mulai dari UU Dasar 1945 sampai peraturan daerah.

Karena itu Agus Samijaya meminta dengan hormat kepada majelis hakim agar membebaskan kedua terdakwa dari segala tuntutan hukum. Juga memulihkan atau merehabilitasi nama baik, harkat, dan martabat Acmat Saini dan Mokhamad Rasad.

“Harusnya bebas. Bukan bebas bersyarat tapi bebas murni. Karena unsurnya (pasal yang didakwakan) tidak terpenuhi,” tandas Agus Samijaya.

Untuk diketahui, Acmat Saini dan Mokhamad Rasad dituntut enam bulan penjara, dengan perintah agar dua terdakwa itu ditahan. Tuntutan itu disampaikan dalam sidang pada Rabu 08 Mei 2024 lalu. Menurut JPU, Acmat Saini dan Mokhamad Rasad dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

JPU menilai tindakan secara bersama-sama dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Dan berdasar fakta persidangan, keterangan terdakwa serta keterangan ahli, perbuatan kedua orang tersebut dianggap memenuhi unsur pidana yang didakwakan.

Sidang perkara akan dilanjutkan pada Rabu 29 Mei 2024 mendatang dengan agenda tanggapan jaksa atas pledoi penasihat hukum terdakwa. (625)

Pos terkait