Kebahagiaan yang Terasa Pahit, Konflik Membayangi Perayaan Natal di Lebanon Selatan

pohon natal
Sebuah pohon Natal ditempatkan di kota pelabuhan Tirus di Lebanon Selatan. (ist)

TIRUS | patrolipost.com –  Komunitas Kristen kuno di Kota Tirus, Lebanon sedang mempersiapkan Natal di tengah bayang-bayang konflik. Bunyi suara tembakan yang sesekali terjadi di perbatasan menjadi pengingat akan ancaman perang negara tersebut dengan Israel.

Tidak ada indikasi bahwa musim perayaan natal semakin dekat di kota tua yang indah ini, tempat keluarga-keluarga dari desa-desa di perbatasan mencari perlindungan selama permusuhan terburuk dengan Israel dalam 17 tahun terakhir.

Bacaan Lainnya

“Tidak ada yang berinvestasi dalam dekorasi karena wilayah Selatan sedang berduka dan kesakitan,” kata Zouheir Halaoui, pemilik restoran dan Hotel Al Fanar di kota Tirus, Sabtu (16/12/2023).

Sekitar 20 km dari perbatasan, kota paling Selatan Lebanon ini telah menjadi tempat perlindungan bagi banyak orang sejak pecahnya permusuhan antara Israel dan Hizbullah Lebanon. Permusuhan itu  merupakan dampak lanjutan dari perang antara kelompok Palestina Hamas dan Israel yang berjarak sekitar 200 km.

“Jika tetap seperti ini, saya kira kita tidak akan mengadakan pesta Tahun Baru atau pesta Natal,” katanya, seraya menambahkan bahwa banyak reservasi telah dibatalkan.

“Ada banyak korban. Tidak etis mengadakan pesta, perayaan ketika orang-orang hidup dalam situasi ini,” imbuhnya

Sebuah situs peradaban kuno di Mediterania, Tirus adalah rumah bagi populasi Muslim Syiah yang tinggal berdampingan dengan komunitas Kristen yang memiliki akar sejarah di kota tua tersebut.

Thouraya Alameh, ibu dua anak berusia 31 tahun mengatakan dia telah meninggalkan desa suaminya di Debl di perbatasan untuk tinggal bersama orangtuanya di Tirus.

Alameh mengatakan sepupunya, yang tinggal di Qatar dan biasanya terbang pulang bersama keluarganya saat Natal, tidak akan datang tahun ini karena konflik yang terjadi, permusuhan terburuk antara Israel dan Hizbullah Syiah sejak perang tahun 2006.

Konflik ini menandai pukulan lain bagi negara di mana banyak orang masih menderita dampak dari kehancuran finansial yang dahsyat empat tahun lalu. Alameh mengatakan krisis ekonomi telah membebani perayaan Natal, dan kini konflik memperburuk keadaan.

“Bukannya merayakan di rumah, di desa, bersama sanak saudara, kami malah mengungsi,” katanya.

“Kami semua akan berada di sini, tapi kebahagiaannya pahit,” tutupnya. (pp04)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.