Dari 1.713 Napi LP Kerobokan, 900 Narkoba

DENPASAR | patrolipost.com – Dari 1.713 penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, 900 diantaranya merupakan napi narkoba. Dari 900 napi itu sekitar 85 persen usia produktif. Benarkah hukuman yang relatif ringan menjadi salah satu faktor penyebab semakin banyaknya orang terjun ke bisnis narkoba?
 

Hukuman pidana penjara terhadap para budak narkotika seakan tidak memberi efek jera maupun rasa takut kepada masyarakat agar tidak  sampai berurusan dengan barang laknat itu. Buktinya, hampir setiap hari Pengadilan Negeri (PN) Denpasar tidak pernah absen mengadili perkara narkotika mulai dari para penguna, kurir hingga bandar besar. Hal ini kemudian berkorelasi dengan membludaknya narapidana kasus narkotika di Lapas Kerobokan Denpasar.

“Untuk kasus narkoba hampir 900 orang lebih dari 1.713 warga binaan. Sedangkan kapasitas Lapas hanya bisa menampung 323 orang, jadi mengalami over kapasitas 1.390 orang,” kata Kepala Lapas Kerobokan Tony Nainggolan, belum lama ini. Mirisnya lagi, rata-rata usia warga binaan yang terjerembab dalam lubang gelap narkotika juga relatif masih muda. “Ini yang disayangkan, dari 60 persen warga binaan kasus narkoba itu bisa dikatakan 85 persen masih berusia produktif,” kata Tony.
Tak hanya menampung warga lokal, Lapas Kerobokan juga diisi oleh warga negara asing yang terjerat kasus narkotika. Dari 90 orang warga negara asing yang dibina di LP Kerobokan, 41 diantaranya terjerat kasus barang haram tersebut. Melihat kondisi ini, Tony pun berpesan kepada masyarakat yang masih bisa menikmati udara bebas untuk tidak ikut terjatuh dalam kasus penyalahgunaan maupun peredaran gelap narkotika.
“Kita berpesan kepada masyarakat supaya jangan sampai berurusan dengan narkoba. Karena bukan hanya dia yang repot atau menjadi korban tapi semua akan kena imbasnya. Kami dari LP Kerobokan juga bertekad untuk meminimalisasi, bahkan kalau memungkinkan me-nolkan narkoba di dalam Lapas,” kata Tony.
Sementara terkait masih adanya dugaan warga binaan yang masih mengendalikan bisnis narkotika dari dalam Lapas, kata Tony, pihaknya terus berusaha mencegah hal itu terjadi. Pihaknya selalu bekerja sama dengan pihak kepolisian, BNN, untuk bersinergi. “Manakala kita punya informasi kita langsung lapor begitu juga sebaliknya,” kata Tony.

Di sisi lain, menjamurnya kasus narkotika ini menimbulkan asumsi adanya tebang pilih dalam menganjar para pelaku. Sesuai dengan yang pernah diberitakan Bali Tribune sebelumnya, tuntutan jaksa dan vonis majelis hakim kepada orang asing yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai, yang berusaha menyelundupkan narkotika ke wilayah pabean Indonesia lebih ringan dari terdakwa lokal yang ditangkap di jalan dengan barang bukti yang tidak sampai 1 (satu) gram.

Ambil beberapa contoh, WN Malaysia, Mohd Husaini Bin Jaslee yang ditangkap karena berusaha menyelundupkan 1,887 butir narkotika jenis ekstasi  yang disimpan di dalam tas laptopnya dituntut 10 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Purwanti Murtiasih. Namun divonis hanya 7 tahun oleh majelis hakim PN Denpasar yang diketuai I Dewa Budi Watsara. Coba bandingkan dengan warga lokal seperti Samsul Arifin (32), dengan BB 200 butir esktasi dituntut 17 tahun penjara oleh JPU, dan divonis 15 tahun oleh majelih hakim.

Ada pula seorang warga negara Jerman, Frank Zeidler yang menyelundupkan 2 (dua) kilogram lebih narkotika golongan I jenis hasish dituntut ringan (hanya) 15 tahun oleh jaksa, Ni  Made Putriningsih. Sementara itu,  Kurniawan Risdianto (43), pri asal Banyuwangi, Jawa Timur, divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim dari 19 tahun tuntutan JPU. Padahal barang buktinya hanya 21 kg ganja.
Menjawab hal ini, Kasipidum Kejari Denpasar Eka Wiryanta, menepis adanya disparitas dalam menanggani kasus narkotika untuk warga lokal dan WNI. “Dalam tuntutan itu, Jaksa tentu akan menimbang beberapa hal yang memberatkan dan meringankan. Misalnya, dia penyalahguna sudah beberapa tahun dia ketergantungann dengan obat, ini kan korban. Semua itu kan diklasifikasikan, hal yang meringankan ada hal memberatkan, sesuai fakta dalam persidangan,” katanya.
Pun terkait adanya perubahan pasal yang dijerat Jaksa dengan Pasal yang diajukan pihak kepolisian, Eka menjelaskan, bahwa Jaksa tidak akan menambah atau mengurangi Pasal tanpa sepengetahuan pihak  Kepolisian. “Pasti dengan petunjuk. Nanti di Polisi di-BAP lagi. Itu ‘diselundupkan’ (pasal dalam surat dakwaan) Polisi, nggak ada itu nggak bisa. Maksudnya dikasi petunjuk sama kejaksaan, misalnya positif, adanya surat assesment ini adalah penyalahguna. Di-BAP lagi baru dimasukkan pasal yang itu. Tetap koordinasi antara polisi dengan jaksa. Tidak ujuk-ujuk dimasukkan begitu saja dalam dakwaan,” katanya. (val)

Pos terkait