Cewek Bawah Umur Sasaran Prostitusi Menggiurkan

Kasus prostitusi melibatkan artis dan cewek di bawah umur terus terjadi, terlebih disaat pandemi Covid-19. (ilustrasi/net)

JAKARTA | patrolipost.com – Prostitusi benar-benar tak lekang oleh perkembangan zaman. Terbukti dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat, bisnis tersebut bukannya berhenti, tapi justru memanfaatkannya menjadi momentum mengiurkan untuk memperluas pasar. Mereka kian gencar menggunakan media online untuk menarik konsumen.

Celakanya, para pelaku bisnis esek-esek menggunakan segala cara demi meraup keuntungan. Kasus teranyar terungkap saat aparat kepolisian menggerebek hotel milik Cynthiara Alona di wilayah Ciledug, Kota Tangerang, Banten. Artis yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka tersebut bahkan menjadi penyedia wanita penghibur. Kebanyakan wanita yang diperdagangkan di bawah umur.

Beberapa hari kemudian, Unit Reskrim Polsek Koja, Jakarta Utara juga menangkap puluhan remaja di salah satu hotel terkait prostitusi online. Dari jumlah tersebut, 45 di antaranya wanita di bawah umur.

Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa sindikat prostitusi tak pernah berhenti mengincar anak. Fakta ini bukan main-main. Berdasar data Kementerian PPPA, secara keseluruhan jumlah anak yang terlibat eksploitasi sebanyak 351 anak dan sebanyak 357 anak terlibat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sepanjang tahun 2019-2021. Data ini berdasarkan Tahun Pelaporan, diakses tanggal 23 Maret 2021.

Dari kasus-kasus yang terungkap, sebagian besar transaksi prostitusi dilakukan lewat media sosial. Teman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan, hingga 2020 telah ada 1.068.926 konten yang berkaitan dengan pornografi ditangani oleh Tim AIS Ditjen Aplikasi Informatika.

Data ECPAT yang didasarkan dari olahan data hasil putusan Mahkamah Agung selama 2010-2014 juga mengungkapkan, terdapat 35 kasus pornografi anak, 64 kasus prostitusi anak, 46 kasus pariwisata seks anak, dan 74 kasus perdagangan anak atau total ada sejumlah 219 kasus eksploitasi seksual terhadap anak.

‘’Angka ini hanya bongkahan kecil dari gunung es yang terlihat, di balik itu kasus yang tidak terlaporkan apalagi yang berhasil mendapatkan putusan masih sangat banyak,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Nahar.

Dia menjelaskan, berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan Tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 bersama dengan Pusat Pelayanan Terpadu perlindungan perempuan dan Anak (P2TP2A) Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) PPA Provinsi DKI Jakarta kepada anak korban prostitusi, terungkap bahwa penyebab anak terjebak dalam praktik prostitusi karena tiga penyebab utama.

Penyebab dimaksud adalah kebutuhan hidup, gaya hidup, serta rendahnya pengawasan dan peran pengasuhan orangtua karena sebagian orangtua yang tidak mengetahui anaknya terlibat kasus prostitusi.

“Untuk itu, Kemen PPPA menghimbau kepada para orangtua untuk memperhatikan kualitas pengasuhan dan pengawasan anak-anaknya. Memfasilitasi ini, Kemen PPPA telah membentuk 156 Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dengan 365 Konselor yang ada di 12 Provinsi, 12 Kabupaten/Kota yang siap untuk memberikan konsultasi, informasi, rujukan dan konseling bagi keluarga,” katanya.

Untuk mengantisipasi modus baru prostitusi anak melalui media online, Kementerian PPPA juga menekankan perlu adanya Digital Native Education. Kementerian PPPA melakukan upaya memperkenalkan dunia digital native kepada para orangtua serta mengedukasi mereka agar mampu mempersiapkan anak menghadapi kencangnya perkembangan teknologi.

Digital Native Education tersebut, bertitik tumpu pada pelibatan peran orangtua dalam mendampingi anaknya menghadapi era digital sehingga ada keahlian yang harus orangtua miliki agar tidak terkecoh dengan kecanggihan zaman sekarang.

Secara kongkrit, keahlian dimaksud berupa cara berkomunikasi terhadap anak, cara membuat kesepakatan kepada anak, serta cara memproteksi gadget anak, misalnya memproteksi situs Google Chrome, Youtube, Play Store di smartphone, tablet, laptop dan computer atau memanfaatkan fitur Hide Offensive Comment di Media Sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, TikTok, dan lain-lain.

“Kami bekerjasama dengan Google, Facebook, TikTok, dan Siber Kreasi sejak 2019 telah meluncurkan program tangkas berinternet bagi anak, dan pada tahun ini focus pada program edukasi Keluarga Tangkas Berinternet. Materi-materi edukasi ini semua tersedia daring di berbagai platform media sosial dan dapat dengan mudah diakses masyarakat,” katanya.

Nahar juga menuturkan, Kementerian PPPA juga akan berkoordiansi dengan Kementerian Pariwisata terkait dengan Standar Operasional Prosedur Perhotelan untuk menegaskan aturan dalam Pasal 76I UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut, ungkap dia, menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.

“Sehingga pihak perhotelan dapat menjalankan bisnisnya dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” ujarnya. (305/snc)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.