Banyak Masalah, Sejumlah Tokoh Gugat UU IKN ke MK

mk 66666
Politisi Marwan Batubara (ketiga kiri) dampingi sejumlah purnawirawan dan aktivis memberikan keterangan usai mendaftarkan permohonan uji formil UU Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu (2/2/2022). (ist)

JAKARTA | patrolipost.com – Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) belum genap satu bulan disahkan dalam rapat paripurna DPR RI pada 18 Januari 2022 lalu. UU IKN itu digugat oleh sejumlah tokoh yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) di antaranya, Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara, Muhyiddin Junaidi.

Kemudian juga di dalamnya terdapat sejumlah purnawirawan jenderal TNI yakni, Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat dan Mayjen TNI (Purn) Soenarko. Gugatan atau judicial review (JR) UU IKN itu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan gugatan yang diwakilkan Marwan Batubara itu menilai bahwa pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan. Hal ini dapat dilihat dari dokumen perencanaan pembagunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara dan pelaksanaan pembagunan.

“Hal ini karena rencana IKN tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, dan tidak tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019,” kata Marwan dalam petitum gugatannya, Kamis (3/2/2022).

Dia menegaskan, IKN mendadak muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Bahkan juga anggaran IKN tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022.

Selain itu, UU IKN dalam pembentukannya dinilai tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam Peraturan Pelaksana. Bahwa dari 44 Pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana.

“UU IKN tidak secara detail mengatur mengenai administrasi pemerintahan IKN dan UU IKN masih sangat bersifat makro dalam mengatur hal-hal tentang IKN. Ragam materi yang didelegasikan dalam 13 perintah pendelegasian dalam UU IKN diatas seharusnya menjadi materi muatan yang diatur dalam level undang-undang, karena bersifatnya yang strategis,” beber Marwan.

Dia pun memandang, UU IKN dalam pembentukannya tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Oleh karena IKN merupakan materi yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, maka setiap kebijakan yang berkaitan dengan IKN mestinya dirumuskan secara komprehensif dan holistik.

“Kebijakan pemindahan IKN tidak mempertimbangkan aspek sosiologis kondisi nasional dan global yang tengah menghadapi pandemi Covid-19, yang dari waktu kewaktu trenya masih cukup tinggi,” tegas Marwan.

Terlebih berdasarkan hasil survei dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi), 19 Desember 2021, sebanyak 61,9 persen orang tidak setuju ibu kota pindah, karena menilai pemborosan anggaran menjadi alasan utama mengapa responden tidak setuju.

“Pembentukan UU IKN minim partisipasi masyarakat dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada tujuh agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses. Sedangkan 21 agenda lainya informasi dan dokumenya tidak dapat diakses publik,” cetus Marwan.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) diminta menguji UU IKN berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 jo. (305/jpc)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.