Sidang Sengketa Tanah Serangan, Saksi Desa Adat Diduga Berbohong, Ipung Minta Hadirkan 36 KK

sidang serangan
Sidang lanjutan sengketa tanah Serangan, di PN Denpasar. (ist)

DENPASAR | patrolipost.com – Sidang lanjutan kasus tanah warisan Daeng Abdul Kadir kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Senin (27/5) dengan menghadirkan saksi dari T2 Desa Adat Serangan, Muhammad Zulkipli.

Kuasa hukum Ahli Waris, Siti Sapurah SH kepada wartawan seusai persidangan mengatakan, saksi yang dihadirkan dalam memberikan keterangan tersebut diduga kuat berbohong. Sebab, sebelumnya saksi sebagai penggugat dalam sengketa yang sama dan dimenangkan oleh pihak ahli waris dan telah berkekuatan hukum tetap.

Bacaan Lainnya

“Saksi ini dulunya pernah menggugat dalam sengketa yang sama ini dan sudah berkekuatan hukum tetap mereka kalah. Tetapi sekarang di persidangan ini, dalam keterangannya lebih banyak tidak tahu. Diduga kuat saksi ini memberikan keterangan bohong,” ujarnya.

Wanita yang akrab disapa Ipung ini juga mengaku kecewa dengan jalannya persidangan memakan waktu yang panjang. Sehingga ia mengatakan, kalau perlu 36 Kepala Keluarga (KK), dijadikan saksi semua. “Termasuk saksi-saksinya penggugat dulu suruh hadirkan untuk jadi saksi lagi, biar sidang ini seumur hidup gak selesai-selesai. Karena lima belas putusan pengadilan (PN, PT dan MA) Kasasi dan Dua kali PK tidak ada gunanya saat ini,” katanya.

Sementara sidang pekan depan, Senin (3/6) dengan agenda menghadirkan saksi dari T1 lagi dari BPN. Kemudian pekan berikutnya, Senin (10/6) saksi lagi dari Desa Adat Serangan dan dari T1 lagi. Selanjutnya, agenda sidang Senin (24/6) dirinya diminta majelis hakim menghadirkan saksi yang bisa menjawab semua alat bukti penggugat. Ia menilai sidang ini seakan mulai dari nol lagi.

“Padahal sudah jelas ada lima belas putusan, yaitu ada Pipil, ada akta jual beli, ada SPPT, ada surat keterangan tanah, ada surat dari BPN, ada surat dari dinas kehutanan, ada tapal batas yang ditandatangani oleh PT BTID, Desa, Walikota, dan BPN. Terus ada peta kelasiran 1948 milik desa, ada peta data fisik tanah desa milik desa juga. Kan gak mungkin satu orang saksi bisa menguasai dan mengetahui semua dokumen ini, kecuali saya yang punya kasus. Kalau jalannya sidang seperti ini, seakan-akan ingin mementahkan semua dokumen saya,” tegasnya.

Kasus ini telah mencuat sejak tahun 2009 silam, ketika lahan dengan sertifikat Nomor 69 yang luasnya 94 are milik Maisarah digugat oleh 36 KK warga Kampung Bugis Serangan ke PN Denpasar. Begitu juga pipil tanah yang luasnya 1 hektare 12 are. Dalam gugatan tersebut, pihak Maisarah atau ibunda dari Siti Sapurah selalu menang hingga ke Mahkamah Agung.

Peninjauan Kembali (PK) juga ditolak. Atas putusan pengadilan yang mengikat ini, Ipung menunjukkan berbagai dokumen kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar, seperti 15 putusan pengadilan hingga tahun 2020, foto copy pipil tanah seluas 1 hektar 12 are dan pajak tanah seluas 2 hektare 18 are, serta foto peta tanah.

Sementara PT BTID hanya berpegang teguh pada SHGB Induk Nomor 41 Tahun 1993 atau HGB Nomor 81, 82, 83 atas nama PT BTID. Melalui hal ini diatur tentang jalan lingkar luar di Pulau Serangan dengan PT BTID sebagai pihak pertama dan Desa Adat Serangan sebagai pihak kedua. Jalan lingkar luar itu mulai dari pintu masuk Pulau Serangan melewati Pura Sakenan sampai Tanjung Inyah terus ke Timur lalu ke Utara sampai tempat Melasti dan berhenti di penangkaran penyu yang panjangnya 2,115 km. “Bagaimana mungkin jalan lingkar luar ini melompat, melewati lahan orang lain. Dan mengenai HGB juga tidak bisa digunakan untuk selamanya karena itu sama dengan kontrak atau sewa,” pungkas Ipung. (007)

Pos terkait