Sidang Gugatan Bendesa Adat Pengastulan di PN Singaraja Diwarnai Aksi Massa Dua Kubu

demo warga
Aksi damai warga Desa Pengastulan di depan PN Singaraja, Rabu (9/8/2023). (cha)

SINGARAJA | patrolipost.com – Sidang gugatan melawan hukum yang dilayangkan Bendesa Adat Desa Pengastulan terkait permohonan warga Banjar Dinas Kauman Desa Pengastulan yang memohon diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) berlangsung di PN Singaraja, Rabu (9/8/2023). Massa dari dua kubu yang berseberangan menggelar aksi damai mengawal jalannya sidang.

Dua elemen massa yang menggelar aksi yakni dari Bendesa Adat Pengastulan, dan massa lainnya dari Aliansi Masyarakat Pengastulan Bersatu (AMPB). Menariknya, aksi massa tak hanya di halaman PN Singaraja, sejumlah massa dari elemen adat juga melakukan aksi di Kantor Desa Pengastulan.

Bacaan Lainnya

Pada sidang perdana penggugat Bendesa Adat Pengastulan melalui kuasa hukumnya I Komang Sutrisna SH dari kantor Hukum LBH Bali Metangi-Forkom Taksu Bali. Sementara selaku tergugat Kepala BPN Buleleng dan Kepala Desa Pengastulan Putu Widyasmita didampingi kuasa hukumnya Gede Indria SH.

Dalam orasinya korlap aksi massa AMPB Hilman Eka Rabbani menyatakan dasar warga Banjar Dinas Kauman memohon SHM melalui program PTSL selain telah mendiami kawasan itu berabad lamanya mereka juga memiliki bukti penguasaan fisik lahan di Banjar Dinas Kauman. Bahkan, sebelum digabung menjadi satu desa, Banjar Dinas Kauman merupakan desa tersendiri bernama Desa Pengastulan Islam.

“Kami memiliki bukti yuridis dan historis atas penguasaan lahan. Kami bukan tamiu (tamu) karena kami adalah pemilih sah atas lahan kami. Karena itu tidak ada halangan berdasar hukum positif untuk menuntut hak kami sebagai warga negara,” ujarnya.

Karena itu sambungnya, ia mendesak agar pihak Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menerbitkan SHM sebanyak 329 pemohon atas nama warga Banjar Dinas Kauman.

”Kami mendukung upaya yang telah dilakukan pihak Kepala Desa dan BPN dalam melakukan pensertifikatan lahan sesuai program pemerintah. Karena itu kami mendesak agar sertifikat kami segera diterbitkan,” tandasnya.

Sementara itu, dalam sidang gugatan melawan hukum yang dipimpin Ketua Majelis Hakim I Gusti Made Juliartawan SH memasuki agenda mediasi. Untuk itu para pihak diminta untuk melakukan mediasi sebelum sidang dilanjutkan sesuai agenda.

Usai sidang Komang Sutrisna SH mengatakan, ia melakukan gugatan terhadap Kepala Desa Pengastulan dan Kepala BPN Buleleng karena dinilai telah melakukan proses permohonan sertifikat PTSL dilakukan secara melawan hukum. Menurut dia setiap pengajuan PTSL hendaknya berkoordinasi dengan desa adat.

“Dalam desa adat dan wewidangannya termuat dalam awig-awig (peraturan desa adat). Dalam awig-awig disebutkan wewidangan desa adat Pengastulan terdiri dari empat banjar. Tiga banjar adat dan satu banjar dinas. Dan disebutkan wewidangan yang ditempati tamiu adalah Banjar Dinas Kauman,” ujarnya.

Katanya lebih lanjut, sejak awal tidak dilakukan koordinasi rencana penerbitan sertifikat dengan pihak adat kendati BPN telah melakukan sosialisasi. Padahal tiga banjar lainnya telah berjalan dengan baik. Namun hanya satu banjar yakni Banjar Dinas Kauman yang mengaku lahan itu miliknya.

”Merujuk sejarah Desa Adat Pengastulan sekitar tahun 1400 an leluhur kami memberikan lahan kepada tamiu untuk bertempat tinggal dan itu dikuatkan dengan awig-awig,” katanya, tanpa membuka buku sejarah dimaksud.

Sementara kuasa hukum Kepala Desa Pengastulan Gede Indria mengatakan, soal gugatan belum memasuki pokok perkara, hanya agenda mediasi. Namun demikian Indria menyebutkan proses penerbitan sertifikat melalui program PTSL Desa Pengastulan telah berjalan sebanyak 800 bidang, namun yang belum tuntas sebanyak 329 bidang.

“Yang masih belum selesai sebanyak 329 bidang yang kebetulan adalah warga masyarakat Muslim yang tinggal di tempat itu bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka sudah ada penguasaan fisik,” katanya.

Soal tidak ada koordinasi dengan desa adat, Indria menyebut hal itu soal kewenangan. Dalam konteks tersebut menurut Indria bendesa adat tidak memiliki kewenangan adminstratif.

“Yang memiliki kewenangan administratif menurut PP No 24/1991 ada di kepala desa atau sebutan lain yang setara kepala desa. Kewenangan bendesa hanya berkaitan soal adat,” tandasnya. (625)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.