PWI: 2019 Kekerasan terhadap Wartawan Masih Sering Terjadi

Ketua Umum PWI Atal S Depari.

JAKARTA | patrolipost.com – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mencatat, sepanjang tahun 2019 masih sering terjadi kekerasan terhadap wartawan maupun kantor media massa. Pelakunya, selain aparat negara, juga organisasi massa dan masyarakat.

Ketua Umum PWI Atal S Depari menyebut, kekerasan terhadap wartawan dan media massa tidak hanya berupa fisik seperti penganiayaan atau pemukulan, tetapi juga teror. Dia mencontohkan, kasus kekerasan yang dialami wartawan di Aceh.

“Rumahnya dibakar orang tak dikenal, sebagian kantor PWI Aceh Tenggara, Provinsi Aceh juga sempat dibakar. Kantor redaksi sebuah harian di Bogor, Jawa Barat, diserbu simpatisan partai politik tertentu,” kata Atal dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/12).

Kata Atal, penegakan hukum terkait kasus yang melibatkan wartawan juga belum sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan MoU antara Kapolri dan Ketua Dewan Pers nomor 2/DP/MOU/2/2017-II-2017 yang ditandatangani pada 9 Februari 2017.

Dalam Pasal 15 ayat 2 huruf C UU Pers disebutkan Dewan Pers melaksanakan fungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Pertimbangan atas pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf C adalah yang berkaitan dengan hak jawab, hak koreksi, dan dengan pelanggaran terhadap kode etik.

Dalam MoU Kapolri dan Ketua Dewan Pers di antaranya disebutkan, apabila ada dugaan terjadi tindak pidana yang berkaitan dengan pemberitaan Pers maka penyelesaian mendahulukan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers sebelum menerapkan peraturan perundang-undangan lain.

Di samping itu, apabila Polri  menerima laporan dan atau pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan pemberitaan pers dalam proses penyelidikan dan penyidik berkonsultasi dengan Dewan Pers.

“Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa pers tidak semuanya diproses sesuai UU Pers dan MoU tersebut,” ucapnya.

Dia menjelaskan, di sejumlah daerah, polisi sebagai penerima pengaduan masyarakat atas pemberitaan, langsung memproses menggunakan UU non Pers, misalnya UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP.

Sekadar contoh, lanjutnya, adalah kasus yang terjadi pada Januari 2019. Koran Jawa Pos dilaporkan pimpinan klub sepakbola di Surabaya atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik sebagaimana diatur pasal 310, 311 KUHP dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena membuat berita yang dianggap merugikan.

Selain itu, PWI mengimbau agar perusahaan pers tetap memperhatikan kesejahteraan wartawan. Meskipun secara bisnis hampir sebagian besar revenue industri pers dalam posisi menurun drastis, hak-hak karyawan (wartawan) sebagai pekerja secara normatif harus tetap dipenuhi. (rls/807)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.