PPKM dan Mereka yang Bertahan dari Gelombang Pandemi

Syahdan, penjual bubur keliling sedang melayani pembeli. (zar)   

PATROLIPOST.COM – Berbagai kebijakan pemerintah dalam mengatasi penyebaran Covid-19 bermuara kepada pembatasan aktivitas masyarakat. Hanya dengan cara membatasi aktivitas, rantai penyebaran virus Corona bisa diputus. Namun pembatasan kegiatan menjadi petaka bagi kelompok masyarakat yang menggantungkan penghasilnya dari interaksi langsung face to face.

Mereka terdiri dari orang-orang yang bekerja sebagai pedagang (makanan, minuman, barang harian, busana, aksesoris dll) dan jasa pelayanan (tukang reparasi, tukang bangunan, service, loudry dll). Pembatasan aktivitas sama artinya dengan mengekang kebebasan mereka untuk leluasa bertemu pembeli atau menjajakan dagangan mereka selama rentang waktu yang mereka inginkan.

Bacaan Lainnya

Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali, dilanjutkan perpanjangan menjadi PPKM Level 3-4, Gubernur Bali mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 12 Tahun 2021. Isinya juga soal pembatasan kegiatan masyarakat, dengan sedikit kelonggaran.

Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Nomor 24 Tahun 2021 ditentukan bahwa wilayah Bali dan kabupaten/kota se-Bali dibagi menjadi dua kriteria yakni PPKM Level 3 untuk Kabupaten Jembrana, Bangli, dan Karangasem. Sementara itu kriteria PPKM Level 4 diberlakukan untuk Kabupaten Badung, Gianyar, Klungkung, Tabanan, Buleleng, dan Kota Denpasar. Namun dengan alasan asas kebersamaan, maka seluruh kabupaten/kota di Bali dimasukkan ke kriteria Level 4.

“Sebagai Gubernur, Saya sangat memahami bahwa berlakunya kebijakan PPKM Level 4 ini sangat memberatkan dan menyulitkan masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari sehingga mengakibatkan terganggunya perekonomian masyarakat,” kata Gubernur Bali I Wayan Koster, Senin (26/7/2021).

Dalam SE Gubernur Bali yang baru ini diberlakukan beberapa kelonggaran untuk memberikan ruang bagi aktivitas usaha dan ekonomi masyarakat. Pasar rakyat yang menjual barang non kebutuhan sehari-hari dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50% (lima puluh persen) dan jam operasional sampai pukul 16.00 Wita.

Pedagang kaki lima, toko kelontong, agen/outlet voucher, barbershop/pangkas rambut, laundry, pedagang asongan, bengkel kecil, cucian kendaraan, dan lain-lain yang sejenis diizinkan buka dengan menerapkan Protokol Kesehatan yang ketat sampai dengan pukul 21.00 Wita.

Pelaksanaan kegiatan makan/minum di tempat umum (warung makan, rumah makan, kafe, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan) baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun yang berlokasi pada pusat perbelanjaan/mall dapat dibuka dengan maksimal pengunjung makan ditempat 25% dari kapasitas. Waktu makan maksimal 30 menit, dibatasi jam operasional sampai pukul 21.00 Wita.

“Kebijakan ini merupakan pilihan yang sangat sulit, namun harus diputuskan dan diberlakukan agar masyarakat terhindar dari penularan varian Delta Covid-19 yang menular sangat cepat melalui kluster keluarga dan perkantoran,” jelasnya.

Nasib Rakyat Kecil

Dampak nyata dari gelombang pandemi Covid-19 ini dapat dilihat dari menukiknya pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali yang terkoreksi sangat dalam. Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya dari Pajak Hotel dan Restoran (PHR) turun drastis sehingga ada Pemkab di Bali yang memangkas fasilitas dan gaji ASN untuk menutupi defisit APBD.

Ratusan hotel merumahkan dan mem-PHK karyawannya karena tidak ada tamu yang datang. Bahkan ratusan hotel dan fasilitas wisata di Bali terpaksa dijual karena manajemen tidak sanggup menanggung biaya operasional dengan okupansi hanya di kisaran 10 – 15 persen selama 2 tahun.

Tanpa bermaksud mengabaikan situasi sulit yang dihadapi para pemilik modal, maupun kelompok menengah yang bekerja di sektor pariwisata, namun dampak paling besar dirasakan oleh karyawan biasa yang dirumahkan akibat pandemi. Selain kehilangan mata pencarian, mereka juga kehilangan kesempatan untuk bekerja di sektor lain, tersebab anjloknya aktivitas perekonomian serta pembatasan demi pembatasan aktivitas masyarakat demi mencegah penularan virus Corona.

Sandro Rama Putra (30), semula bekerja di Vouk Hotel Sawangan Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali. Terhitung Maret 2020, di bulan pertama kali pemerintah mengumumkan kasus Covid-19, Sandro bersama 80-an karyawan lainnya dirumahkan tanpa gaji bulanan, tanpa kompensasi (uang pesangon). Sejak itu dia bekerja serabutan untuk menghidupi istri dan 3 anaknya.

Akhirnya sejak setahun lalu Dia banting stir menjadi pengemudi taxi online Maxim, dan setiap hari mengaspal di Kota Denpasar. Dia harus bersaing dengan ribuan sopir taksi online lainnya yang juga mengalami guncangan penghasilan akibat pandemi Covid-19.

“Pada awal pandemi, sangat sulit mencari penumpang. Namun pada bulan-bulan berikutnya agak membaik. Penghasilan rata-rata per hari berkisar Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu. Namun sejak PPKM, sulit mencapai separonya. Setiap hari hanya rata-rata bawa uang Rp 75 ribu ke rumah, setelah dikeluarkan untuk beli bensin,” katanya.

Agar bisa menggantongi uang Rp 75 ribu per hari, perjuangan Sandro tidaklah ringan. Pria campuran Ibu Palembang (Sumsel), Ayah Pontianak ini harus kerja keras. Ia sudah harus keluar rumah mencari penumpang dari pukul 06.00 pagi dan pulang pukul ke rumah pukul 04.00 subuh.

“Harus bekerja keras, dan hal itu harus dilakukan demi menghidupi anak istri. Modal Saya hanya keyakinan bahwa rezeki setiap orang itu sudah diatur Allah SWT,” ucap Sandro, yang menyewa kosan Rp 900 ribu per bulan di Jl Tukad Badung, Denpasar.

Sedangkan angsuran mobil Toyota Ayla yang digunakannya untuk taxi online Rp 2,6 juta per bulan. Sempat macet beberapa bulan sampai ada kebijakan pemerintah relaksasi angsuran selama 3 bulan. Setiap 3 bulan ia hanya diwajibkan membayar bunga pokok Rp 1,2 juta. Setelah 3 kali perpanjangan relaksi, akhir angsuran kembali normal. Sehingga di luar untuk kosumsi keluarga, Sandro harus menyediakan Rp 900 ribu untuk kosan dan Rp 2,6 juta untuk angsuran kredit mobilnya.

Kendatipun memiliki KTP Denpasar serta menikah dengan perempuan Bali, namun Sandro tidak tercatat sebagai penerima BLT, baik dari Pemkot Denpasar maupun dari pemerintah pusat. Kendatipun sebelumnya bekerja di hotel yang berdomisili di Kabupaten Badung, Sandro juga tidak menerima bantuan tunai korban PHK dari Pemkab Badung.

Syahdan (27), penjual bubur keliling di seputaran Kelurahan Renon Kecamatan Denpasar Selatan, Bali juga harus berjuang lebih keras melalui masa-masa sulit akibat pandemi Covid-19. Ayah satu anak ini sudah 4 tahun merantau ke Bali dari kampungnya di Kecamatan Lenek Raya, pemekaran dari Kecamatan Aikmel, Lombok Timur Nusa Tenggara Barat (NTB).

Setiap hari dia memutari jalan-jalan Kota Denpasar mendorong gerobaknya seraya memukul-mukul piring dengan sendok sebagai ciri khasnya. Jika lelah, dia berhenti di emperan toko untuk beristirahat seraya berharap ada yang membeli buburnya.

Setiap hari dia keluar dari kosannya di kawasan Renon sekitar pukul 07.00 pagi. Lalu menyusuri jalan aspal sampai gang-gang sempit menjajakan bubur campur kacang ijonya. Jika sebelumnya setiap hari dia memasak 1,5 kg kacang ijo dan habis terjual sampai pukul 11.00 Wita, sejak pandemi dia harus lebih lama di jalan. Rata-rata buburnya habis pukul 15.00 bahkan, terpaksa ia bertahan sampai pukul 18.00 Wita agar tidak rugi.

“Sejak pandemi Covid-19 ini semua serba susah. Penghasilan Saya turun sampai 60 persen. Dulu setiap hari bisa mengantongi keuntungan sampai Rp 125 ribu. Kini hanya sekitar Rp 50 ribuan,” ujar pria berbadan kurus ini.

Kendati sudah 4 tahun berjualan bubur keliling di Denpasar, namun Syahdan belum memiliki KTP Denpasar sehingga statusnya masih sebagai penduduk pendatang (duktang). Wajar bila duktang seperti Syahdan tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah apakah itu Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai (BLT), apalagi Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM).

Dampak PPKM Darurat juga dirasakan pedagang pecel lele, Rohim (32) yang berjualan sore hari di Jl Tukad Badung, Renon Denpasar. Waktu berjualannya ‘dipangkas’ oleh pembatasan jam operasional usaha esensial. Jika sebelumnya, warung pecel lele Rohim yang menyewa tempat di emperan show room mobil dibuka dari pukul 17.30 Wita sampai dinihari, sekarang dibatasinya hanya sampai pukul 21.00 Wita. Itu pun tidak dibolehkan makan di tempat, tapi take away (dibungkus).

“Waduh, sulit Mas. Waktu berjualan sekarang dibatasi. Saya baru bisa berjualan setelah show roomnya tutup pukul 17.30 Wita, sementara pemerintah membatasi pedagang hanya bisa berjualan sampai pukul 21.00 Wita. Jelas penghasilan Saya turun drastis,” ujar pria asal Wonosobo, Jawa Timur ini.

Sama dengan Syahdan, Rohim pun tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah pusat maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar. Statusnya juga sama, sebagai penduduk pendatang, ber-KTP  daerah asal dan mengantongi Kartu Identitas Penduduk Musiman (Kipem) atau Surat Tanda Lapor Diri (STLD) dari Desa Adat setempat.

Sandro, Syahdan dan Rochim adalah 3 dari ratusan ribu rakyat kecil di Kota Denpasar, Bali yang saat ini sedang berjuang melewati masa sulit akibat pandemi Covid-19. Harapan mereka sama: berharap pandemi segera pergi dan aktivitas berjalan normal kembali. Sedangkan harapan mereka kepada pemerintah, kurangi pembatasan-pembatasan masyarakat dalam berusaha. Jika memang terpaksa membuat pembatasan, pastikan ada jaminan warga menerima bantuan untuk biaya hidup secara merata selama kebijakan itu diberlakukan. (izarman)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.