Peringati Hari Bipolar se-Dunia, KBB Gelar Diskusi Kuota Kerja dan Ketersediaan Obat bagi Penyintas Bipolar

hari bipolar
Komunitas Bipolar Bali (KBB) memperingati hari Bipolar se-Dunia menggelar diskusi di Hard Rock Cafe, Minggu (3/4/2022).

MANGUPURA | patrolipost.com – Memperingati hari bipolar se-dunia yang jatuh setiap 30 Maret 2022, Komunitas Bipolar Bali (KBB) menggelar diskusi dan penampilan para penyintas bipolar dalam bidang musik maupun seni di Hard Rock Cafe, Minggu (3/4/2022). Diskusi kali ini, mengupas permasalahan tentang kuota kerja bagi penyintas bipolar yang merupakan penyandang disabilitas mental dan juga ketersediaan obat bagi Orang dengan Bipolar (ODB).

KBB turut menghadirkan narasumber yakni Kepala Seksi Pengawasan Norma Kerja & K3 Dinas Ketenagaan dan SDM Provinsi Bali dr I Made Sukana SKed, Kepala Bidang Penjaminan Manfaat Rujukan BPJS Kesehatan Cabang Denpasar dr Ni Made Adhe Sugi Windariani, Case Manager BPJS Kesehatan Cabang Denpasar dr Kokendo Hutomo, Asisten Deputi Wilayah Bidang Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Kanwil  Banuspa Armada Kaban dan Sehat Mental Care (SMC) dr Gst Rai Wiguna SpKJ & dr Gde Yudhi SpKJ.

“Beberapa kasus menunjukkan ODB dipecat dari pekerjaan karena dianggap malas, padahal tidak begitu nyatanya. Salah satu penyebab karena pengaruh bipolar itu sendiri, terutama saat fase depresi datang,” ujar Ketua KBB, Yarra Rama.

Hal ini mengingat ODB saat ini kesulitan mendapat obat secara penuh. Dimana, rumah sakit hanya memberikan jatah obat untuk jangka waktu satu minggu. Sehingga pihaknya meminta BPJS Kesehatan dapat membantu ODJ mendapatkan obat untuk sebulan.

“Berobat di rumah sakit hanya diberi jatah obat untuk satu minggu. Itu membuat ODB susah karena mesti mengambil cuti kerja yang sering sulit didapat dari tempat mereka bekerja,” jelasnya.

Pihaknya khawatir jika ini dibiarkan, ODB menjadi malas untuk berobat. Padahal bagi pengidap bipolar, obat medis sangat penting untuk membantu pulih dan bisa bekerja serta beraktivitas seperti orang kebanyakan.

Yarra mengatakan tidak ingin sia-sia ketika KBB mengajak dan mendorong ODB untuk melakukan pengobatan, namun justru obat tidak tersedia atau jika pun tersedia hanya untuk waktu yang singkat.

“Jangan sampai kami sudah mendorong teman-teman, tapi ternyata obatnya tidak tersedia atau tersedia tapi dalam waktu singkat cuma satu minggu, dan jika habis mesti berobat ke rumah sakit lagi. Iya yang dipermasalahkan bagi teman-teman ODB yang tempat tinggalnya jauh dari rumah sakit kan sangat tidak efisien,” tuturnya.

Menurutnya, stigma masyarakat saat ini juga masih sangat kental sehingga kebanyakan ODB kurang percaya diri bahkan tidak jarang keluarga menjustifikasi. Terlebih gangguan bipolar adalah gangguan mental yang menyebabkan perubahan suasana hati, energi, tingkat aktivitas, konsentrasi, serta kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Dimana penyintas bipolar berkisar pada periode perilaku yang sangat gembira atau bersemangat menjadi sangat sedih atau seperti putus asa.

“Sementara berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2017 ada sekitar 45 juta orang di seluruh dunia yang menderita gangguan bipolar,” sebutnya.

Bahayanya lagi, gangguan ini merupakan salah satu penyebab utama cacat dan kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia. Bipolar bisa ditangani dengan pengobatan medis dan psikoterapi yang membuat pengidap bipolar menjadi lebih stabil dan menjalani aktivitas keseharian dengan lebih baik.

Untuk itu, pihaknya berharap diskusi ini nantinya bisa menjadi pesan bagi pemangku kebijakan untuk lebih memperhatikan ODB, terutama dalam membuat kebijakan dan menyediakan lapangan pekerjaan yang bersifat inklusif.

“Semoga diskusi ini menemukan solusi terbaik dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi para pengidap maupun penyintas bipolar terutama di Provinsi Bali,” harapnya. (030)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.