Perempuan di Rusia Menuntut Pemerintah Agar Para Suami Dipulangkan dari Perang Ukraina

maria andreeva
Maria Andreeva. (ist)

MOSKOW | patrolipost.com – Perempuan Rusia membuat sebuah gerakan yang menuntut kembalinya suami, putra, dan saudara laki-laki mereka yang dimobilisasi setelah dikeluarkannya keputusan Presiden Vladimir Putin pada September tahun lalu.

Awalnya gerakan ini berjanji setia pada apa yang disebut Kremlin sebagai “operasi militer khusus” (SVO). Namun tanggapan asal-asalan yang mereka terima justru memperkuat pendapat mereka.

Bacaan Lainnya

Salah satu perempuan yang suaminya telah berperang di Ukraina selama lebih dari setahun, Maria Andreeva, juga melakukan perjuangan di Moskow agar suaminya  pulang.

Sejak suami Andreeva dimobilisasi tahun lalu dan menuju ke Ukraina, dia kembali hanya untuk dua kali istirahat singkat untuk menemui istri dan putrinya yang masih kecil.  Istrinya mengatakan ini tidak cukup untuk seorang tentara yang berperang dalam suatu konflik.

“Kami ingin orang-orang kami didemobilisasi sehingga mereka dapat kembali ke rumah karena kami pikir selama lebih dari setahun mereka telah melakukan semua yang mereka bisa atau bahkan lebih,” kata Andreeva (34), dalam sebuah wawancara di Moskow mengutip reuters, Selasa (5/12/2023).

“Bagi saya, ini bukan hanya perjuangan untuk memastikan putri saya punya ayah, tapi juga perjuangan untuk pernikahan saya,” sambungnya.

Mengatasi gerakan ini adalah masalah yang rumit bagi Kremlin. Moskow, yang mengirimkan puluhan ribu tentara ke Ukraina pada Februari 2022, dalam perang-perang sebelumnya menoleransi jumlah korban tewas yang lebih tinggi daripada yang bisa diterima secara politik di negara-negara Barat.

Namun meningkatnya pergerakan perempuan Rusia menggarisbawahi kompleksitas dan ketidaksetaraan bawaan yang menyebabkan begitu banyak laki-laki berperang dalam jangka waktu yang lama, sementara lebih banyak lagi orang yang berada dalam usia berperang dan tetap berada di rumah.

Sekelompok ibu tentara Rusia berkampanye untuk kondisi yang lebih baik bagi putra-putra mereka yang bertugas di angkatan bersenjata ketika Uni Soviet runtuh, dan kemudian untuk kembalinya mereka dari perang di wilayah Chechnya, Rusia.

Terlalu dini untuk menilai besaran atau dampak pergerakan perempuan Rusia di masyarakat yang menurut pihak berwenang mendukung upaya perang. Perempuan di Ukraina juga menuntut laki-laki mereka diizinkan kembali bertugas dari garis depan.

“Saya ingin Anda memahami, hal ini tidak lagi menakutkan karena tidak mungkin lagi menanggung semua ini. Ini sudah keterlaluan,” kata Andreeva ketika ditanya tentang bahayanya bersuara di masa perang di Rusia.

Ketika Putin memerintahkan mobilisasi sebagian 300.000 tentara cadangan pada September 2022, ratusan ribu pemuda bergegas meninggalkan Rusia. Jutaan orang tidak pergi, dan beberapa dari mereka dipanggil untuk berperang.

Menurut Dmitry Medvedev, mantan presiden yang kini menjadi wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, negaranya telah merekrut ratusan ribu tentara kontrak di provinsi-provinsi tersebut dengan iming-iming gaji yang tinggi. Rusia sejauh ini telah merekrut 452.000 tentara kontrak pada tahun ini, yang menggarisbawahi keunggulan jumlah yang dimiliki Rusia dibandingkan Ukraina.

“Petisi untuk memulangkan laki-laki mereka hampir tidak mendapat tanggapan, dan Kementerian Pertahanan Rusia hampir tidak menggubris gerakan perempuan tersebut,” kata Andreeva.

Kurangnya tanggapan telah membuat beberapa perempuan untuk berhenti bersikap seperti “gadis baik” atas tuntutan mereka dan mengubah persepsi mereka terhadap konflik.

“Posisi kami pada awalnya adalah: Ya, kami memahami mengapa hal ini diperlukan, kami mendukungnya, kami menempati posisi yang agak loyal,” katanya.

“Tetapi sekarang posisi, termasuk saya, berubah karena kami melihat bagaimana kami diperlakukan, dan bagaimana suami kami diperlakukan.” tandasnya.

Perempuan Rusia yang tergabung dalam gerakan tersebut disatukan melalui saluran Telegram “Way Home” mereka memiliki 23.000 anggota.

Protes yang direncanakan oleh para perempuan tidak mendapatkan persetujuan pihak berwenang untuk dilanjutkan.  Para perempuan tersebut dituduh didukung oleh para pembangkang dan partai oposisi yang berbasis di Barat. (pp04)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.