Harga Kuliner di Labuan Bajo Mahal, Pelaku Wisata Minta Pemkab Lakukan Standarisasi Harga

kuliner labuan bajo
Kuliner Kampung Ujung, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. (ist)

LABUAN BAJO | patrolipost.com –  Pariwisata Labuan Bajo kini kembali mulai bergairah. Sempat lesu karena pandemic Covid-19, geliat pariwisata kembali bangkit terlihat dengan hiruk pikuk aktivitas pelaku wisata dalam melayani para wisatawan.

Aktivitas ini dengan mudah dapat dijumpai pada area pelabuhan kapal wisata, Bandar Udara Komodo, tempat-tempat kuliner, gerai-gerai suvenir serta sejumlah spot destinasi wisata. Meski tak seramai di musim high season seperti pada bulan Mei hingga Desember lalu, namun aktivitas pariwisata di Labuan Bajo mulai memberikan harapan bagi peningkatan ekonomi masyarakat.

Bacaan Lainnya

Namun, oleh sebagian pelaku pariwisata, kondisi pariwisata Labuan Bajo saat ini dirasa mulai memberikan kekhawatiran. Pasalnya, Labuan Bajo tidak hanya dikenal dengan destinasi wisata yang indah, namun juga mahal.

Kekhawatiran ini muncul setelah mendapatkan berbagai keluhan yang disampaikan secara langsung oleh para wisatawan. Salah satunya seperti yang dialami oleh Pastor Terry, seorang pelaku pariwisata bidang kuliner.

Ditemui dalam sebuah kegiatan yang melibatkan para pelaku UMKM di salah satu hotel di Labuan Bajo beberapa waktu lalu, Pastor Terry menyampaikan, rata – rata wisatawan yang ditemuinya mengeluhkan mahalnya harga makanan di kota dengan Label Super Premium ini.

Di kalangan wisatawan, Labuan Bajo ternyata tidak hanya dikenal dengan sejumlah spot wisata yang memukau, tapi juga memiliki brand sebagai daerah dengan destinasi wisata yang mahal.

“Banyak komplain, mau di laut dan darat, semua berpendapat sama. Saya juga perihatin, sebagai koki, tutor dan juga pelaku pariwisata kan (merasa) tidak enak, ketika kita ke daerah lain dijamu dengan harga yang terjangkau, ketika ke sini segala sesuatu bisa berubah dan ini kan menjadi tranding topik,” ungkapnya.

Ia menambahkan, keluhan akan mahalnya harga makanan pada sejumlah tempat ini bukan merupakan kali pertama terjadi. Namun, telah menjadi komentar wajib dari setiap wisatawan yang telah berkunjung ke Labuan Bajo. Hal ini kata dia, karena tidak adanya fungsi kontrol dari sebuah lembaga atau instansi terkait yang seharusnya memiliki wewenang untuk mengatur.

“Setiap tahun ada saja keluhan dari para wisatawan, entah itu wisatawan mancanegara atau domestik atas harga yang out of standar. Nah, sekarang siapa yang punya kompetensi untuk itu, pemerintah daerah? Mungkin dia punya limit. Terlalu bebas menurut saya karena tidak ada fungsi control,” ucapnya.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah harga makanan yang dijual di Kuliner Kampung Ujung. Selain harga yang berlebihan, harga juga bisa berubah sewaktu waktu untuk satu jenis makanan yang sama dengan ukuran dan berat yang sama.

“Harga di sana itu sulit diprediksi, sewaktu-waktu bisa berubah. Ya itu tadi (karena) tidak ada alat ukur atau barometer yang bisa menentukan bahwa produk harga ini sekian,” tuturnya.

“Misalnya seorang turis ke sana, (harga) satu kepiting itu kan berkisar antara 250.000 -350.000 per ekor. Kalau 1 kg itu bisa sampai 500.000. Nah, kan harus dibandingkan dengan harga beli, sekarang dia beli berapa? Rp 100 ribu atau Rp 120 ribu untuk beberapa ekor. Nah, sekarang ketika satu ekor dijual dengan harga 250.000, apakah ini tepat, terlalu high,” lanjutnya.

Hal ini kata dia tentu harus segera diatasi oleh pemerintah Kabupaten Manggarai Barat melalui penerapan standarisasi harga bagi produk-produk yang ditawarkan kepada para wisatawan.

“Hampir semua produk termasuk produk kuliner, entah basah atau kering itu dijual dengan harga yang mahal. Saya bertanya kira-kira lembaga atau instansi mana yang punya kompetensi untuk mengeluarkan daftar harga. Sehingga ada keseimbangan, karena pikiran saya tidak semua turis yang datang ke Labuan Bajo itu orang orang yang berduit, kita tidak punya standarisasi harga yang paten atau yang bisa diterima,” ungkapnya.

Kebijakan menerapkan standarisasi harga atau kebijakan lain yang berkaitan dengan produk-produk UMKM tentu haruslah mendukung keberadaan UMKM lokal.

“Contoh di Kain, yang dijual ternyata bukan hanya produk dari Manggarai Raya, tapi dari tempat lain yang meniru produk produk itu. Sekarang legalitas yang mengizinkan itu siapa? Di satu sisi mereka diuntungkan, tapi juga mematikan pelaku UMKM lokal kita, kuliner juga begitu,” ucapnya.

Kekhawatiran seorang pelaku wisata ini tentu lebih kepada berkurangnya ketertarikan calon wisatawan untuk berkunjung ke Labuan Bajo karena harga makanannya yang mahal yang tentu akan berdampak pada penurunan jumlah kunjungan wisatawan.

Untuk itu, Pastor Terry mengharapkan adanya campur tangan pemerintah daerah dalam menentukan standarisasi harga produk produk UMKM agar tidak dijual dengan (harga) yang begitu bebas. Selain itu, yang juga harus diperhatikan adalah membandingkan dengan harga bahan- bahan pokok  di pasaran.

“Harapan saya, bahwa mesti ada satu sentra kuliner yang terjangkau, semua bisa dibuat tergantung misalnya instansi mana yang punya kompetensi untuk menentukan hal ini,” tutupnya. (334)

Pos terkait