Evaluasi OJK Pertumbuhan BPR Cenderung Melambat

Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK, Rochman Pamungkas

 

Bacaan Lainnya

DENPASAR | patrolipost.com – Sudah menjadi tugas dan fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur dan mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan, tidak terkecuali dalam mengevaluasi kinerja Badan Pengkreditan Rakyat (BPR). Melalui Evaluasi BPR/S Tahun 2019 yang berlangsung di Grand Inna Bali Beach, Rabu (27/11/2019) OJK memaparkan permasalahan BPR.

Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK, Rochman Pamungkas, menyebutkan, dibandingkan dengan kinerja tahun-tahun sebelumnya terdapat beberapa poin yang menjadi catatan OJK untuk dievaluasi.

“Pertumbuhan secara umum mengalami penurunan meskipun tumbuh positif tapi ada perlambatan pertumbuhan,” ujarnya.

Melalui sambutannya, Rochman Pamungkas menyampaikan lima permasalahan BPRP. Yang pertama, terkait permodalan (lack of capital). Berdasarkan Evaluasi OJK, terdapat beberapa BPR yang belum memenuhi syarat dalam ketentuan jumlah modal inti minimal. Keterbatasan modal inti minimal tersebut akan berdampak pada keterbatasan dalam melakukan ekspansi bisnis, pengelolaan SDM, dan penyediaan infrastruktur IT yang tidak optimal, sehingga kemudian berdampak pula pada melemahnya daya saing BPR dengan lembaga jasa keuangan lainnya.

Kedua, kurang optimalnya penerapan tata kelola BPR. OJK menemukan beberapa BPR yang mengalami kekurangan jumlah pengurus baik jajaran Direksi, Dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif. Tidak optimalnya struktur dan kapasitas manajemen tentu kemudian akan mengurangi kualitas perencanaan, pengarahan, pengawasan internal bank, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja bank.

Ketiga, peningkatan pada risiko kredit yang tercermin dari peningkatan rasio Non Perfoming Loan (NPL). Peningkatan rasio tersebut disebabkan oleh belum optimalnya kualitas SDM di bagian perkreditan dalam menyalurkan kredit, terutama di sektor properti dan turunannya, upaya penyelesaian kredit bermasalah melalui penjualan agunan yang memerlukan waktu yang lama, lemahnya awareness SDM terhadap internal kontrol yang menyebabkan munculnya pelanggaran atau penyimpangan ketentuan dalam penyaluran kredit.

“NPL bergerak meningkat, kalau di Bali banyak faktor-faktor pemicunya, antara lain faktor bencana alam yang sedikit banyak mengganggu kinerja dari para debitur sehingga sedikit banyak mempengaruhi kemampuan membayar mereka sehingga banyak kredit tertunda, secara ukuran NPL merabat naik,” papar Rochman.

Keempat lemahnya sistem teknologi informasi yang dimiliki BPR. Guna menghadapi era revolusi industri 4.0 ini, industri perbankan dituntut memiliki kemampuan beradaptasi secara cepat dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas. OJK menerbitkan POJK No.75/POJK.03/2016 dan SE No.15/SEOJK. 03/2017 tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR dan BPRS guna mengatasi hal tersebut.

Kelima, terbatasnya produk dan layanan BPR. Dalam upaya mendorong variasi produk dan layanan BPR. OJK juga menerbitkan POJK No. 12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Wilayah BPR untuk menanggulangi keterbatadan produk dan layanan.

Terkait BPR yang dicabut izinnya, tahun 2018 terdapat satu BPR yang dicabut izinnya, kemudian di tahun 2019 terdapat 2 BPR yang mengalami hal serupa. Rochman berharap kejadian tersebut tidak terulang di tahun depan.

“Kita sudah mulai ancang-ancang dari sekarang, berbenah diri agar jangan sampai nanti ada kasus-kasus seperti yang sudah saya sampaikan, kedepan BPR harus berbenah baik secara internal maupun eksternal, budaya sadar resiko itu harus ditananmkan,” tutupnya. (Cr01)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.