Disanksi Kasepekang, 11 KK Krama Solas Desa Adat Banyuasri Ajukan Gugatan ke PN Singaraja

kasepekang
Sidang perdana perbuatan melawan hukum oleh penggugat diawali dengan mediasi setelah dilakukan sidang perdata di Ruang Kartika PN Singaraja, Rabu (23/8/2023). (cha)

SINGARAJA | patrolipost.com – Sebelas KK warga (krama) Desa Adat Banyuasri, Buleleng yang menamakan diri Krama Ngarep Solas dijatuhi sanksi kasepekang oleh Desa Adat setempat. Tidak terima, mereka melakukan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Bendesa Adat dan Prajuru Desa Adat Banyuasri di Pengadilan Negeri (PN) Singaraja.

Sidang perdana diawali dengan mediasi setelah dilakukan sidang perdata di Ruang Kartika PN Singaraja. Dalam sidang perdata Rabu 23 Agustus 2023, Ketua Majelis Hakim, I Made Bagiarta SH MH menetapkan, persoalan berkaitan dengan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang diadukan 11 krama Adat Banyuasri yang kesepekang melalui upaya mediasi dipimpin Hakim Mediator PN Singaraja Made Hermayanti Muliartha SH.

Bacaan Lainnya

Sidang mediasi terhadap persoalan adat di Banyuasri tersebut ditunda hingga sepekan mendatang, sebab dari 11 penggugat hanya dihadiri 7 orang sehingga proses mediasi direncanakan akan berlangsung dalam sidang kedua.

Gugatan dilayangkan 11 krama desa adat Banyuasri yakni: I Gede Sidartha, I Nyoman Sri Karyana Dyatmika, Nyoman Trisna Mahayana, Putu Suarsana, I Putu Sudjana, I Nyoman Sri Kurniata Mahasuta, Ketut Suwardana, Ketut Pasek, Jro Mangku Ketut Widiana Giri dan Made Suyasa. Melalui kuasa hukumnya I Nyoman Mudita, mereka menyampaikan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan Bendesa Adat Banyuasri, Nyoman Mangku Widiasa bersama prajuru yang didampingi kuasa hukum I Nyoman Sunarta dan rekan.

Kuasa hukum 11 krama adat, I Nyoman Mudita menyebutkan, gugatan yang dilayangkan warga adat, utamanya yang kesepekang (dikucilkan karena sanksi adat) berawal dari pelarangan yang dilakukan terhadap 11 kepala keluarga oleh Kelian Desa Adat Banyuasri Nyoman Mangku Widiasa bersama prajuru lainnya. Ke 11 KK tersebut dilarang mengikuti berbagai kegiatan adat termasuk dilarang melakukan persembahyangan ke pura desa adat setempat.

“Ada krama 13 Kepala Keluarga yang merupakan krama uwed ngarep tidak diizinkan untuk melakukan paruman desa, sembahyang Galungan Kuningan di pura dalem Desa Banyuasri hingga kini. Padahal sudah jelas apa yang menjadi sanksi bagi 13 KK tersebut sudah diputus oleh MDA Provinsi Bali dalam putusannya untuk memerintahkan dan meminta kepada kelian adat Banyuasri mengembalikan hak-hak dan tugas-tugas serta yang lain menyangkut sanksi adat dan itu tidak dilakukan sehingga kami mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum,” jelas Mudita.

Mudita juga menyebutkan, sanksi kesepekang yang diberikan kepada 11 krama adat tidak sesuai dengan perarem atau aturan adat yang telah dibuat Desa Adat Banyuasri. “Dalam perarem atau awig-awig desa adat tidak ada yang mencantumkan adanya sanksi kesepekang. Nah, ini kok bisa Bendesa Adat mengeluarkan sanksi itu,” imbuhnya.

Kelian Desa Adat Banyuasri Nyoman Mangku Widiasa saat dikonfirmasi menegaskan, pemberian sanksi terhadap 13 KK sebagai warga adat sebelumnya (dan kini berjumlah 11 KK) merupakan kesepakatan dalam paruman agung dan dibenarkan oleh awig-awig.

“Itu bukan keputusan Kelian Adat atau Prajuru Adat, namun itu merupakan hasil Paruman Agung yang menyatakan adanya pelanggaran adat. Keputusan itu juga diawali melalui Paruman Alit dan Paruman Madya hingga selanjutnya ditetapkan pada Paruman Agung,” tegas Mangku Widiasa di sela-sela pelaksanaan sidang pertama.

Upaya untuk mencabut sanksi adat yang diberikan telah diberikan kemudahan oleh Desa Adat Banyuasri, namun menurut Bendesa Adat Mangku Widiasa baru dilakukan oleh 2 KK dengan melakukan upacara khusus.

”Sudah, itu sudah kami berikan kemudahan untuk bisa mengembalikan warga agar tidak kesepekang, tentunya dengan sejumlah upakara dan juga melalui paruman agung,” paparnya.

Terkait dengan pelaksanaan sidang mediasi, Kuasa Hukum Desa Adat Banyuasri I Nyoman Sunarta menyebutkan masih akan dilakukan mediasi pada sidang selanjutnya dengan menghadirkan para penggugat maupun yang tergugat.

“Masih berlanjut nantinya dengan menghadirkan kedua belah pihak melalui mediasi,” ungkapnya.

Sunarta menambahkan, sejak diberlakukan Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat seharusnya permasalahan adat tidak perlu sampai ke pengadilan karena keputusan yang dibuat MDA sudah bersifat final dan mengikat.

“Putusan MDA sudah dijalankan oleh Prajuru dalam Paruman Agung Desa Adat Banyuasri namun keputusan tersebut ditolak oleh Paruman. Kita berharap perkara ini dapat diselesaikan dalam proses mediasi. Jika tidak, kasus ini harus menjadi bahan evaluasi para pemangku kebijakan untuk mengembalikan hak otonom yang selama ini dimiliki oleh Desa Adat di Bali,” tandas Sunarta. (625)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.