Bank Ingin Kuasai Aset Debitur, Made Sari Sebut Salah Kaprah

whatsapp image 2023 05 11 at 10.04.00
Dr. I Made Sari, SH., MH., C.L.A. (foto/pp)

DENPASAR | patrolipost.com – Selaku praktisi hukum perbankan Dr. I Made Sari, SH., MH., C.L.A.,  berharap masalah pengambilalihan agunan sedapat mungkin ditempuh upaya penyerahan agunan secara sukarela dan menghindari sampai terjadi proses lelang. Menurutnya, proses lelang adalah upaya hukum terakhir dari bank untuk penyelamatan kredit yang disalurkan ke debitur untuk menyelamatkan “dana masyarakat” yang dititipkan di bank.

“Adanya opini yang berkembang bahwa bank “menipu” dan ingin menguasai aset debitur melalui lelang sebagai peserta lelang adalah kurang tepat,” ucap Made Sari meluruskan, saat ditemui Rabu (10/5/2023).

Bacaan Lainnya

Apa yang diungkapkan Made Sari yang juga seorang akademisi ini, menyikapi apa yang kerap berkembang di masyarakat terkait lelang agunan debitur. Tentu dengan adanya penjelasan darinya tidak ada lagi “opini liar” yang berkembang di masyarakat yang dihembuskan oleh segelintir oknum.

Lantas dalam hal ini Made Sari menjabarkan, proses pengambilalihan agunan telah diatur secara ketat oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Dalam praktik beracara di pengadilan, dirinya dapat menjelaskan bahwa masih banyak timbul masalah dalam praktik hukum perbankan terutama terkait Aspek Proses Pengambilalihan Agunan dan Penyerahan Secara Sukarela. Jadi dalam hal ini debitur menyerahkan agunan kepada kreditur karena ada kesepakatan untuk pelunasan utang.

“Penyerahan agunan seperti ini pada umumnya dapat menyelesaikan masalah dan tidak memunculkan masalah kembali kemudian, asalkan penyerahan agunan yang dimaksud telah dilakukan secara tuntas termasuk penyerahan fisik agunan,” katanya.

Ada juga cara lain dimana BPR menunjuk seseorang untuk membeli agunan dalam pelelangan agunan yang dilakukan oleh KPKNL, untuk menanggulangi pelaksanaan lelang yang diajukan oleh bank agar tidak batal, yang disebabkan oleh tidak adanya peserta lelang yang berminat. Proses melalui nominee ini menimbulkan masalah karena terjadi multitafsir antara POJK Nomor 33/POJK.03/2018, tertanggal 27 Desember 2018 dengan SE DJKN Nomor S-407/KN.7/2012, tertanggal 12 April 2012, maupun pada pihak kepolisian apakah perbuatan hukum nominee ini merupakan perbuatan pidana atau bukan, sehingga tidak terjadi kepastian hukum.

“Ketidakpastian ini sangat mengganggu kegiatan usaha bank, sehingga muncul upaya hukum dari bank untuk memperjuangkan kepastian hukum,” tuturnya.

Berangkat dari persoalan yang kerap muncul, tak salah jika Made Sari, melakukan upaya hukum melalui Kantor Hukum Sari Law Office Denpasar mengajukan permohonan uji materiil Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke MKRI, untuk memperjuangkan ketidakadilan perlakuan di depan hukum selama ini karena adanya perbedaan tafsir dari pasal undang-undang yang dimaksud, dimana Bank Umum dan BPR Syariah dapat mengambilalih agunan melalui lelang, sedangkan BPR tidak dibolehkan oleh Kantor Lelang.

Bersyukur setelah melalui proses yang cukup panjang, dikatakan Made Sari, akhirnya Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Perkara No. 102/PUU-XVIII/2020 tertanggal 12 November 2020, permohonan Judicial Review dikabulkan, sehingga sejak saat putusan diucapkan, perbedaan tafsir dari makna pasal yang dimaksud berakhir, karena telah diputuskan bahwa maksud dari pasal yang diuji telah diputuskan oleh Majelis Hakim MK bahwa Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela.

“Putusan ini telah memberikan jaminan kepastian hukum atas adanya persamaan hak antara BPR dan Bank Umum dalam hal pengambilalihan agunan melalui lelang,” tandasnya.

Pasal 12 A UU Perbankan setelah putusan MK juga telah di akui dan dipertegas dalam UU No.4 tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), dalam Pasal 15 menentukan bahwa ketentuan Pasal 12 A berlaku secara “mutatis mutandis” bagi BPR.

“Sehingga tidak ada lagi yang boleh mempermasalahkan tentang pengambilalihan agunan oleh BPR melalui lelang. Semua peraturan yang berada di bawah undang-undang tidak boleh bertentangan, dan apabila di kemudian hari ada peraturan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang maka dapat ditempuh upaya hukum yang disebut dengan Judicial Review ke Mahkamah Agung,” ucap Made Sari Mewanti-wanti. (wie)

Pos terkait