Aset Terancam Disita, Pengacara Ancam Laporkan Ketua PN Singaraja ke MA

budi hartawan
Budi Hartawan SH ChtCi bersama kliennya Gede Merta Widiada. (cha)

SINGARAJA | patrolipost.com – Anmaning yang dilayangkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Singaraja terhadap Gede Merta Widiada yang lebih dikenal dengan Boss Adisika selaku termohon eksekusi untuk mengembalikan uang pembayaran pembelian tanah sejumlah Rp. 550.000.000 kepada pemohon eksekusi yakni Gede Putu Arka Wijaya memantik serangan balik. Pihak Gede Merta Widiada melalui kuasa hukumnya Budi Hartawan SH mengancam akan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Agung (MA) setelah menuding Ketua PN Singaraja tidak fair dalam kasus tersebut.

Sebelumnya Arka Wijaya melalui Kuasa Hukumnya Nyoman Sunarta SH memberi deadline kepada Gede Merta untuk mematuhi putusan pengadilan MA yang sudah inkracht pada tahun 2019. Hanya saja tenggat waktu deadline terlewati dan aset milik Gede Merta terancam disita. Terkait perkara perdata dengan Nomor 423/Pdt.b.TH/2021/PN Singaraja tersebut Kuasa Hukum Arka Wijaya, Nyoman Sunarta mengatakan telah mengajukan surat ke PN Singaraja selaku pemohonan eksekusi lanjutan setelah diberikan anmaning hampir selama dua pekan terhadap termohon.

Bacaan Lainnya

“Permohonan Eksekusi Lanjutan telah ditindaklanjuti oleh Ketua Pengadilan Negeri Singaraja, dengan melaksanakan aanmaning pada tanggal 2 November 2022 dan terakhir pada tanggal 14 November 2022,” ujar Sunarta.

Hanya saja Gede Merta melalui Kuasa Hukumnya Budi Hartawan melakukan perlawanan balik. Ia mengecam putusan Ketua PN Singaraja dan menganggap putusan tersebut berakibat fatal. Menurut Budi Hartawan ia telah mengajukan perlawanan eksekusi terhadap objek sengketa terletak di Desa Sambangan.

“Awalnya memang klien saya kalah karena dipegang pengacara lain Ngurah Sentanu. Dalam amar putusan ada dua putusan dalam konvensi dan rekovensi. Dalam konvensi ada perintah pengosongan objek secara lasia dari total objek seluas 12,5 are,” kata Budi Hartawan.

Hanya saja ada disebutkan pengembalian uang senilai Rp 550.000.000 sebagai DP yang merupakan hasil penjualan objek bukan uang tunai murni dari pemohon eksekusi. Dari titik ini Budi Hartawan mengaku melakukan perlawanan eksekusi. Pasalnya, uang tersebut bersumber dari tanah yang dijual dan jika uang itu dikembalikan kepada pemohon akan ada objek yang hilang.

“Lahan itu kan sudah dimiliki oleh seseorang (pembeli). Nah, kami juga minta selaku termohon eksekusi memohon kepada majelis untuk mengosongkan objek terlebih dahulu dalam konvensi karena keduanya dikabulkan oleh MA,” jelas Budi Hartawan.

Karena itu, Budi Hartawan mengaku keberatan atas putusan Ketua PN Singaraja yang seharusnya berkeadilan namun mengenyampingkan Putusan MA dengan mengambil putusan dalam bentuk anmaning. Terlebih perlawanan eksekusi oleh termohon belum memiliki kekuatan hukum tetap  dari MA.

“Dalam anmaning disebutkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar tidak mempengaruhi terhadap perlawanan eksekusi. Ada apa di balik putusan ini sehingga Ketua PN Singaraja kok berani memutuskan seperti itu,” ucapnya.

Karena itu, Budi Hartawan mengaku akan besurat resmi ke MA untuk melaporkan Ketua PN Singaraja yang menyebut putusan ini tidak berpengaruh dengan perlawanan ekeskusi. Menurut Budi Hartawan jika perlawanan eksekusi dikabulkan oleh MA dengan disertakan novum baru akan menjadi masalah karena objek sudah terlanjur dieksekusi.

“Dalam akta jual beli disebutkan pemohon membeli lahan seluas 12,5 are ada yang terjual 1,5 are dan hasil penjualan itu terakumulasi menjadi DP senilai Rp 550.000.000. Jika uang ini dikembalikan akan ada korban. Inilah perlawanan itu,” tandas Budi Hartawan. (625)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.