Inprosedural, DPRD Bali Tolak Pemekaran Banjar Adat Kubu

Ketua DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama saat menerima aspirasi prajuru dan warga Banjar Adat Kubu.

DENPASAR | patrolipost.com – DPRD Provinsi Bali merekomendasikan menolak pemekaran banjar adat yang dilakukan tanpa prosedur yang jelas. Rekomendasi tersebut juga berlaku untuk pemekaran Banjar Adat Kubu, Kabupaten Karangasem, yang belakangan menuai pro dan kontra.

Rekomendasi tersebut terungkap saat prajuru bersama warga Banjar Adat Kubu, Karangasem, mendatangi DPRD Provinsi Bali di Denpasar, Senin (6/1/2020). Kedatangan mereka untuk menyampaikan secara langsung penolakan atas pemekaran banjar adat oleh sekelompok warga yang mengatasnamakan Banjar Graha Santhi.

Bacaan Lainnya

Kehadiran warga ini diterima langsung oleh Ketua DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adnyana, serta sejumlah anggota dewan. Hadir pula Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra, bersama jajaran.

“Kita tugaskan Komisi I, merekomendasikan kepada Dinas Pemajuan Desa Adat untuk menolak pemekaran yang tidak sesuai prosedur,” kata Ketua DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama, usai menerima aspirasi warga Banjar Adat Kubu.

Khusus terkait pemekaran Banjar Adat Kubu, diakui Adi Wiryatama, DPRD Bali juga merekomendasikan menolak karena pemekaran tersebut dilakukan tanpa prosedur yang jelas. Apalagi, pemekaran diusulkan tanpa melalui musyawarah dan hanya dilakukan oleh kelompok.

“Yang minta pemekaran, itu kelompok. Di sana ada dua kelompok Banjar Adat. Ada kelompok yang mau mekar. Dan usulan pemekaran justru tidak sesuai dengan persyaratan. Tanpa ada musyawarah, tanpa ada tujuan jelas, tanpa persetujuan mayoritas masyarakat,” tandas mantan bupati Tabanan dua periode ini.

Yang memprihatinkan, menurut dia, proposal permohonan pemekaran tersebut justru menggunakan absensi rapat banjar yang agendanya tidak terkait pemekaran. Artinya, secara administrasi, usulan pemekaran tersebut sudah salah.

“Absensi rapat banjar dipakai untuk mengajukan permohonan pemekaran. Karena mekar tanpa persyaratan normal, kita rekomendasikan untuk tolak,” tandas Adi Wiryatama.

Dalam rapat tersebut, Made Agung Ariyasa, jurubicara Banjar Adat Kubu, menjelaskan secara detail polemik pemekaran Banjar Adat Kubu ini. Ia bahkan menyebut, pemekaran itu cenderung dilakukan dengan cara sabotase karena tanpa melalui musyawarah.

Pihaknya juga sengaja menyampaikan aspirasi langsung ke provinsi, karena di tingkat kecamatan hingga Kabupaten Karangasem justru sudah mentok. Apalagi, pemekaran tersebut justru sudah mendapatkan rekomendasi dari Majelis Desa Adat Kabupaten Karangasem.

“Kita sudah bersurat sampai ke Majelis Desa Adat Kabupaten. Tetapi tidak ditanggapi. Akhirnya kami ke provinsi. Kami juga ajukan banding ke Majelis Desa Adat Provinsi. Karena semestinya mereka melihat persyaratan saat pengusulan. Kalau tidak lengkap, jangan disetujui (pemekaran). Kami bersyukur, karena DPRD Bali merespon positif,” tutur Agung Ariyasa.

Dikatakan, apabila pemekaran ini sesuai prosedur, maka pihaknya bersama warga tentu akan mendukung penuh. Tetapi yang terjadi, pemekaran justru dilakukan secara inprosedural. Akibatnya, banyak warga yang menolak.

“Mereka diam-diam ajukan proposal usulan pemekaran. Mereka sabotase. Tanpa musyawarah, tapi sudah buat usulan pemekaran. Kita di banjar induk tidak tahu. Yang pernah ada, pisah sangkep. Hanya itu. Setelah berjalan dua tahun, tahun 2018, mereka buat proposal pemekaran tanpa ada musyawarah lagi,” bebernya.

“Sekali lagi, permohonan mereka di awal adalah pisah sangkepan. Kami ada empat tempek. Tempek 1 dan 2 sangkep di tempat induk, tempek 3 dan 4 di tempat yang baru kami bangun. Intinya kalau pisah sangkep kita setuju, tapi pemekaran banjar kita tidak setuju. Sebab ke depan bisa ribut,” imbuh Agung Ariyasa. (182)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.