Kadus dan Pecalang Kembali Diperiksa Terkait Penutupan Gudang Mikol 

Warga mendampingi Kadus dan Pecalang yang diperiksa penyidik Polresta Denpasar.

DENPASAR | patrolipost.com – Masalah penghentian proyek gudang minuman beralkohol (mikol) di Jalan Sunia Negara Banjar Sakah, Desa Pemogan, terus bergulir. Setelah Kelian Banjar Sakah, AA Gede Agung Aryawan dan Kelian Dinas Banjar Sakah Desa Pemogan I Ketut Sumadi Putra dimintai keterangan, Selasa (22/10) lalu, polisi kembali meminta keterangan Kepala Dusun Ketut Suma dan seorang Pecalang bernama Ketut Senter sebagai saksi di Mapolresta Denpasar, Senin (2/12).

Wayan Adi Mawan selaku kuasa hukum dari para terlapor mengatakan, dua orang kliennya itu diperiksa oleh penyidik Unit II Sat Reskrim Polresta Denpasar. Sebanyak 18 pertanyaan yang diajukan oleh penyidik terkait seputar penutupan gudang mikol di Jalan Sunia Negara Banjar Sakah, Desa Pemogan, 6 Oktober lalu itu.

Pemilik gudang Mikol kemudian melaporkan kejadian itu ke Mapolresta Denpasar dengan nomor Dumas/722/X/2019/Bali/Resta Dps, tertanggal 8 Oktober 2019. Dua orang diperiksa penyidik itu karena saat penutupan, mereka berada di lokasi kejadian. Ia menilai ada hal yang janggal karena pasal yang disangkakan dalam pelaporan itu, yakni pasal 335 KUHP tentang perbuatan yang tidak menyenangkan.

“Pasal tersebut (335) oleh MK sudah tidak berlaku lagi. Jika ini diterapkan maka akan fatal,” ujarnya.

Dikatakannya, selain itu bangunan tersebut juga sudah divonis tindak pidana ringan (tipiring) karena tidak memiliki IMB, namun sampai saat ini pekerja bangunan masih melakukan aktifitas. “Jangan sampai kalau pengusaha dari masyarakat kecil tidak punya IMB langsung ditertibkan dengan tegas. Sedangkan pengusaha besar yang memiliki uang banyak dibiarkan begitu saja tanpa dilakukan penertiban yang pasti, tegas dan jelas. Tentu lebih krusial lagi, bangunan itu dikhususkan sebagai gudang mikol. Nah, ini perlu diselidiki lagi oleh pihak terkait. Dari mana asal-usul mikol dan izinya,” katanya didampingi para warga.

Dijelaskan Wayan Adi, apa yang terjadi di lapangan ternyata malah tidak ada tindakan tegas karena pembangunan masih tetap berlanjut dengan pekerja yang cukup banyak tanpa melapor sebagai penduduk non permanen kepada banjar adat dan pecalang.

Sesuai Perda Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat, apalagi di Bali sebagai daerah pariwisata yang sangat tergantung dari keamanan penduduk. Sikap masyarakat secara spontan melakukan tindakan yang mengacu pada awig-awig Banjar Sakah tentang wewangunan, pelemahan dan krama tamu, tapi ujungnya harus berhadapan dengan hukum.

“Hal ini mendadakan seolah-olah di Kota Denpasar rakyat selalu menjadi korban,” ungkapnya.

Sempai saat ini belum ada penetapan tersangka. Pihaknya selalu kooperatif, namun jika ada kliennya ditetapkan sebagai tersangka dengan penerapan pasal 335, maka pihaknya akan menempuh jalur pra peradilan.

“Ya, kita liat saja perkembangannya nanti. Kan banyak upaya hukum yang kami bisa tempuh,” pungkasnya. (007)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.