Tidak Ada Akta Palsu, Vonis Bos Hotel Kuta Paradiso Dinilai Aneh

Harijanto Karjadi usai menjalani sidang di PN Denpasar, Januari 2020 lalu.

DENPASAR | patrolipost.com – Penasihat hukum Harijanto Karjadi, bos Hotel Kuta Paradiso menegaskan, sampai saat ini Akta No 10 tentang pengalihan saham PT Geria Wijaya Prestige/GWP (Hotel Kuta Paradiso) milik Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 2011 secara hukum tidak pernah dinyatakan palsu. Karena itu, sangat aneh dan janggal ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar memvonis Harijanto Karjadi dengan 2 tahun pidana penjara pada 21 Januari 2020 lalu.

“Jadi, saat klien kami (Harijanto Karjadi) dinilai terbukti menggunakan akta otentik yang dipalsukan, tentu tidak tepat karena akta yang dimaksud tidak pernah dinyatakan palsu. Tapi kami maklumlah. Hakim kan bisa khilaf,” papar Petrus Bala Pattyona, koordinator penasihat hukum Harijanto Karjadi dalam keterangan pers releasenya, Senin (3/2/2020).

Bacaan Lainnya

Menurut Petrus, Akta No 10 tentang pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 12 November 2011 yang menjadi dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sampai hari ini secara hukum tidak pernah dinyatakan palsu atau berisi keterangan palsu.

“Jadi bagaimana mungkin akta yang belum pernah dinyatakan palsu sekonyong-konyong sudah dianggap palsu. Dan klien kami dituding menggunakan akta yang dianggap palsu itu sehingga dinyatakan terbukti bersalah sesuai Pasal 266 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” katanya.

Petrus menguraikan kejanggalan dan keanehan pertimbangan putusan majelis hakim terkait Akta No 10 sebagai dasar dakwaan dan tuntutan. Yang diajukan JPU serta kaitannya dengan Akta No 11 tentang perubahan susunan pengurus PT GWP  yang  dikirimkan oleh notaris I Gusti Ayu Nilawati ke Kemenkumham pada 2011. Karena itu, pihaknya berharap majelis hakim Pengadilan Tinggi  (PT) bisa memberikan putusan yang lebih masuk akal dan adil terkait dengan upaya banding yang diajukannya.

Seperti diketahui, tim JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya mendakwa Harijanto Karjadi dengan tiga dakwaan alternatif, yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 266 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam tuntutannya, JPU menilai bahwa dalam proses persidangan, dakwaan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terbukti, sehingga pihaknya mengajukan tuntutan pidana 3 tahun penjara terhadap Harijanto Karjadi.

Namun majelis hakim dalam pertimbangan putusannya justru menyatakan bahwa terdakwa Harijanto Karjadi tidak terbukti sebagai pelaku dugaan tindak pidana memberikan atau turut menyuruh memberikan keterangan palsu dalam akta otentik sesuai Pasal 266 ayat (1) KHUP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hartono, Harijanto, dan Sri adalah kakak-beradik kandung keluarga besar Karjadi. Selain menjabat Dirut PT GWP, Harijanto juga pemilik saham mayoritas perusahaan yang mengoperasikan Hotel Kuta Paradiso tersebut. Sementara Hartono adalah pemegang saham minoritas, yang atas alasan kesehatan, menjual dan mengalihkan sahamnya kepada Sri Karjadi pada November 2011.

Perkara pidana itu bermula dari laporan yang dibuat Desrizal, kuasa hukum Tomy Winata pada 27 Februari 2018 ke Ditreskrimsus Polda Bali, sehubungan dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dengan terlapor Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi. Berdasarkan surat dakwaan JPU, Tomy Winata merasa dirugikan lebih dari USD 20 juta terkait dengan peristiwa pengalihan saham pada 12 November 2011 dari Hartono ke Sri tersebut.

Padahal Tomy Winata sendiri membeli hak tagih piutang PT GWP yang diklaim Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) pada 12 Februari 2018 itu dengan harga Rp 2 miliar. Selain melapor ke Polda Bali, Tomy Winata juga mengajukan gugatan perdata wanprestasi terhadap PT GWP dan Harijanto Karjadi dkk di PN Jakarta Pusat dengan menuntut ganti rugi lebih dari USD 31 juta. Tapi gugatan Tomy Winata tersebut ditolak pada 18 Juli 2019 melalui Putusan Perkara Nomor; 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst, dan putusan tersebut dikuatkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusan Nomor: 702/PDT/2019/PT.DKI tanggal 26 Desember 2019.

Sehubungan jual-beli dan pengalihan hak tagih piutang PT GWP dari Bank CCBI kepada Tomy Winata tersebut, Fireworks Ventures Limited yang mengklaim selaku kreditur tunggal PT GWP mengajukan gugatan perdata kepada Bank CCBI dan Tomy Winata dalam perkara No 555/pdt.G/2018/PN. Jkt. Utr. Dalam perkara itu, majelis hakim memutuskan Bank CCBI dan Tomy Winata telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan pengalihan hak tagih piutang PT GWP pada 12 Februari 2018, dan menyatakan pengalihan  itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Terhadap putusan ini, Bank CCBI melalui kuasa hukum Otto Hasibuan mengajukan banding. Hal serupa ditempuh Tomy Winata melalui kuasa hukum Maqdir Ismail. (007)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.