Selama Puluhan Tahun Warga di Daerah Wisata Super Prioritas Konsumsi Air Kali

Warga Blok D, Translok, Kampung Wae Bue, Desa Persiapan Golo Tanggar, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat menimba air kali untuk dikonsumsi. (afri)

LABUAN BAJO | patrolipost.com – Warga tiga dusun di desa persiapan Golo Tanggar, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT  terpaksa harus mengonsumsi air kali untuk memenuhi kebutuhan air sehari – hari. Mirisnya, sumber air yang digunakan untuk keperluan minum, mandi dan cuci bagi warga tiga dusun ini juga digunakan oleh ternak kerbau untuk berendam diri.

Desa persiapan Golo Tanggar sendiri berjarak 12 kilometer dari Labuan Bajo, kota yang oleh Presiden Jokowi dijadikan satu dari lima Destinasi Wisata Super Prioritas di Negara Republik Indonesia.

Bacaan Lainnya

Berbagi air kali yang kotor, keruh serta bau bersama ternak kerbau ini sudah berlangsung hampir puluhan tahun. Tidak ada jaringan air bersih di daerah ini. Satu satunya sumber air hanyalah aliran kali Wae Rae ini, sumber kehidupan bagi manusia, hewan serta areal pertanian di Desa Golo Tanggar.

Desa Persiapan Golo Tanggar merupakan pemekaran dari Desa Macang Tanggar pada awal tahun 2021. Sebelum dimekarkan, Desa Macang Tanggar meliputi kampung Nanganae, Mbrata, Menjaga, Nalis, Lemes, Translok, Weor dan Bancang. Pasca pemekaran, area Translok, Weor dan Bancang masuk kedalam Desa Persiapan Golo Tanggar. Terkhusus dalam area translok dibagi dalam dua dusun yakni, Dusun Laing Bakok (Blok A dan B) serta Dusun Wae Bue (Blok C dan D). Sementara untuk Dusun Bancang meliputi Kampung Weor dan Kampung Bancang.

Bernadus Bandur (65), salah seorang warga translok blok D, kampung Wae Bue menuturkan, harapan kehidupan yang lebih baik dengan menjadi warga transmigrasi lokal pada tahun 1997 tidak memberikan dampak kesejahteraan bagi kehidupannya serta keluarganya. Hingga kini, mengecap air yang bersih dan layak konsumsi hanyalah sebuah mimpi belaka. Bahkan bersama warga lainnya juga mereka sering menjadi korban janji – janji palsu para kaum elit.

“Sejak tahun 98 sampai sekarang. Pokoknya tidak ada air bersih, memang kami sudah pernah usul tapi jawabannya hanya nanti, nanti dan nanti terus, nanti kami survei, ternyata tidak ada, sampai sekarang.” ucapnya, saat ditemui Senin (31/5/2021) lalu.

Sejak menjadi warga translok pada tahun 1997, Bernadus bersama warga lainnya pernah menikmati air bersih yang disediakan oleh Kementerian Transmigrasi sebagai tindak lanjut dari relokasi tersebut. Namun ketersediaan air bersih tersebut hanya berlangsung selama satu tahun. Hingga saat ini ia pun berharap bisa mengulangi mimpi menikmati air bersih dan layak minum tersebut.

“Sekarang saya sudah 65 tahun, yang kami ingin kan kami harus kecap itu air minum bersih, hanya yah tergantung kesediaan pemerintah. Kami rindu air bersih,” tuturnya.

Sesuai data Translok pada tahun 1997, total terdapat 200 kepala keluarga (KK) untuk dusun Laing Bakok dan Wae Bue. Dengan rincian untuk Blok A sebanyak 52 KK, blok B sebanyak 48 KK, Blok C sebanyak 49 KK dan Blok D sebanyak 51 KK. Untuk menghindari banyaknya kotoran pada air yang ditimba, warga mengatur waktu untuk mengambil air.

Dalam sehari, waktu pengambilan air dilakukan pada pagi hari dan sore hari, hal ini dilakukan karena pada saat saat itu ternak kerbau belum masuk ke kali Wae Rae. Warga juga harus menempuh jarak sekitar 300 hingga 500 meter menuju lokasi kali.

“Timba airnya pagi jam 6 sampe jam 9. Sore dari jam 4 sampai jam 6.  Jarak dari kampung itu untuk Gang pertama sekitar 300 meter, gang tengah 400 meter dan gang atas sekitar 500. Air ini tidak disaring cuman kita endapkan dulu biar turun kotornya. Setelah itu baru dimasak,” urai Fati, seorang ibu rumah tangga di blok D.

“Kerbau milik warga kalau tidak minum air di sini mereka bisa mati, itu makanya kita pagi – pagi timba air, sebab kalau sudah siang kerbau sudah masuk ke dalam kali. Dari dulu kerbau – kerbau ini ada di kali, Weor dan Bancang juga begitu dari kali Wae Rae ini. Semua menggunakan sumber kali yang sama.” lanjut Yakobus Jehadi warga lainnya.

Kondisi serupa juga di alami oleh warga kampung Weor dan Bancang. Dihuni oleh sebanyak 72 KK, air kali Wae Rae juga menjadi satu satunya sumber air. Selain mengambil langsung di aliran kali, air juga langsung diambil di saluran irigasi. Tak pelak, air juga telah terkontaminasi dengan bahan – bahan berbahaya, termasuk cairan pestisida.

Kondisi ini oleh warga terpaksa dijalani dengan lapang dada, membiasakan diri mengonsumsi air tak layak, termasuk bagi Agustina Ilut, seorang ibu rumah tangga. Agustina menuturkan untuk sedikit mengurangi keruhnya air, sebelum dikonsumsi, air diendapkan terlebih dahulu selama satu hingga dua hari, selanjutnya air langsung digunakan untuk dimasak dan kemudian dikonsumsi oleh sekeluarga.

“Kami semua ambil air dari selokan (kali) untuk keperluan dalam rumah itu setiap hari untuk keperluan masak, minum, cuci dan mandi, sumbernya hanya selokan ini saja. Airnya didiamkan dulu di ember besar baru dimasak. Mau bagaimana lagi, kondisinya sedih memang tapi mau ambil air darimana lagi, kita tetap berharap dapat air bersih dari pemerintah,” ungkapnya.

Kondisi ini diperparah jika musim hujan dan terjadi banjir. Warga harus menunggu dua hari untuk menimba air.

“Kadang saat ditimba ada kotoran hewan atau manusia, itu sering kita alami. Kalau musim hujan Itu tidak bisa timba lagi, harus tunggu dua hari sampai air kembali bersih, sebagai gantinya kadang kita tadah air hujan,” ujar Maria Fensilina Nasti (20), seorang ibu rumah tangga lainnya.

Menurut penuturan penjabat Kepala Desa Golo Tanggar, Yoseph Tala, kondisi tidak tersedianya air minum bersih pada tiga dusun tersebut juga tidak pernah ditanggapi secara serius oleh pemerintah desa Macang Tanggar, Desa induk dari Desa Persiapan Golo tanggar. Berbeda dengan dusun lainnya yang telah terairi air bersih melalui program desa.

“Dari desa Induk setahu saya karena saya tinggal di sana sejak tahun 1996, saya belum pernah mendengar ada program dari desa induk untuk program air bersih untuk tiga dusun ini,” ujarnya.

Pada tahun 2004 jelas Yoseph, melalui program Pamsimas pernah dilakukannya pemasangan jaringan pipa menuju sumber mata air termasuk dengan bak bak kecil penampung, namun ketersediaan air bersih hanya berlangsung selama seminggu. Hal ini disebabkan oleh rusaknya jaringan pipa yang tidak ditanam sedalam mungkin untuk menghindari injakan hewan ternak.

Hingga saat ini, Desa Golo Tanggar sendiri belum memiliki anggaran untuk dilakukannya pengadaan program air bersih. Pasca dilantik menjadi penjabat Kepala Desa Golo Tanggar 22 Januari 2021 yang lalu, pihaknya belum bisa berbuat banyak. Dia  berharap pemerintah daerah mampu memprioritaskan air minim bersih bagi warga Desa Golo Tanggar.

Selain bagi kebutuhan 1.152 jiwa, pasokan air bersih juga diharapkan nantinya mampu menunjang proses belajar mengajar sebuah sekolah dasar di desa persiapan Golo Tanggar ini. SD Tanggar merupakan satu satunya sekolah yang ada di daerah ini. Berdiri sejak tahun 80-an, sekolah ini belum pernah didukung oleh ketersediaan air bersih.

“Kalo Pemdes memang agak susah bantu masyarakat karena memang jangkauan dari mata air sampe ke sini Itu butuh dana banyak. Barangkali Pemerintah Daerah bisa bantu mengalirkan air ke Desa Golo Tanggar ini,” seru Fredirikus Ponce, Pjs Sekdes desa Persiapan Golo Tanggar. (334)

Pos terkait