Media di Tengah Disrupsi Digital: Imbangi dengan Akurasi Produk Jurnalistik

Webinar Series II Kominfo dengan tema Jaga Berita, Jaga Cinta Jaga Indonesia di Kuta, Kamis (15/4/2021). (maha)

MANGUPURA | patrolipost.com  – Kominfo menggelar webinar series II dengan mengangkat tema, ‘Jaga Berita, Jaga Cinta, Jaga Indonesia’ di Kuta, Kamis (15/4/2021). Acara dihadiri sejumlah narasumber diantaranya, Anggota Dewan Pengawas LKBN Antara Mayong Suryo Laksono, Redaktur Kompas.com Heru Margianto, dan Redaktur Pelaksana Infopublik.id Dwitri Waluyo.

Acara dipandu oleh Algooth Putranto, alumnus Udayana yang saat ini jadi dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie.

Bacaan Lainnya

Era informasi berada pada perubahan besar yang mengubah sistem maupun tatanan ke cara-cara baru. Tenaga Ahli Madya Kedeputian Informasi dan Komunikasi Publik Kantor Staf Presiden Prita Laura mengatakan, disrupsi digital menjadi era yang sulit dikendalikan.

Menurut Prita, saat ini media telah mengalami perubahan ekologi. Perubahan yang ada meliputi prioritas kecepatan bukan keakuratan, fenomena clickbait, news agregator, Sosmed, Pandemi dan pseudo journalism atau jurnalisme semu.

Eks jurnalis televisi swasta nasional ini mengatakan, penulisan dalam konteks pseudo journalism seolah-olah dibuat sesuai kaidah jurnalistik. Akibatnya, masyarakat tidak percaya data tapi meyakini informasi yang berkembang di medsos sebagai sebuah kebenaran.

“Orang sulit membedakan, antara pendapat pribadi dan news, tapi itu dianggap sebuah kebenaran. Ketika sosmed sulit dikendalikan, kuncinya ada di kualitas jurnalistik,” kata Prita Laura di Kuta, Kamis (15/4/2021).

Maka dari itu, disrupsi media yang berubah ke digital, kata Prita, perlu diimbangi dengan tingkat akurasi produk jurnalistik.

Menyikapi demokrasi cerdas di era Disrupsi Digital, Heru Margianto menyoroti kebutuhan media digital yang justru bergantung pada jumlah klik. Ia sepakat, wartawan media digital harus membuat berita menjadi Clickable atau memiliki daya klik.

“Yang harus kita lakukan yakni, mendulang klik tanpa konflik. Karena karakteristik media online harus ada klik agar informasi sampai ke audiens. Tidak ada gunanya sebagus apapun menulis tapi kalau tidak ada klik,” kata Heru.

Ia menekankan Clickable berbeda dengan Clickbait. Clickable yakni menyesuaikan dengan apa yang dicari dan dibutuhkan oleh pembaca.

“Sedangkan clickbait cenderung kepada pembohongan. Dengan clickbait menyebabkan kehilangan kredibilitas, dan saya sebagai praktisi tidak menyarankan,” ungkapnya.

Sementara, Mayong Suryo Laksono menekankan, eksistensi media digital mensyaratkan adanya jumlah kunjungan pembaca. Namun menurutnya, tidak seharusnya semua informasi bisa ditampilkan di media mainstream digital.

“Ada prinsip-prinsip jurnalistik yang harus jadi pegangan,” ujarnya.

Sementara, Dwitri Waluyo menyoroti pemilihan judul bombastis yang akhirnya berpotensi merugikan publik sendiri. Ia mencontohkan kondisi Bali ketika diguncang isu erupsi Gunung Agung tahun 2017 lalu.

“Ketika pemberitaan negatif turis langsung kabur, dan dampaknya juga mempengaruhi wisatawan dan masyarakat Bali sendiri,” kata Dwitri. (pp03)

Webinar Series II Kominfo dengan tema Jaga Berita, Jaga Cinta Jaga Indonesia di Kuta, Kamis (15/4/2021). (maha)

Pos terkait