Masyarakat Adat Setujui Dokumen IPP Proyek Geothermal Wae Sano Manggarai Barat

masyarakat adat
Musyawarah Adat (Lonto Leo) di Desa Wae Sano, Selasa (25/01/2022) lalu. (ist)

LABUAN BAJO | patrolipost.com – Seluruh proyek yang didanai Bank Dunia yang bersinggungan dengan keberadaan masyarakat adat, diwajibkan melalui proses konsultasi dengan masyarakat. Proses konsultasi yang diwajibkan itu disyaratkan inclusiveness (melibatkan seluruh pihak tanpa kecuali) dan legitimate (sah menurut aturan-aturan formal dan adat yang ada).

Mencermati hal ini, Sekretariat Komite Bersama Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi Pengembangan Proyek Geothermal Wae Sano akhirnya melaksanakan kegiatan konsultasi publik bersama komunitas masyarakat adat di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bacaan Lainnya

Untuk konsultasi ini, pihak Sekretariat Komite Bersama juga tak mengabaikan tradisi masyarakat setempat. Sebab dalam tradisi orang Manggarai umumnya, untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama, maka harus diambil melalui proses musyawarah.

Dalam tradisi masyarakat Manggarai, musyawarah itu disebut Lonto Leo (di sebagian tempat disebut Lonto Leok, red). Dengan cara ini, keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelesaian masalah dapat memuaskan semua pihak, karena langsung dikoordinasikan oleh sistem kepemimpinan adat.

Mengingat daya ikat kesepakatan Lonto Leo yang sedemikian rupa, maka untuk konsultasi proyek pemanfaatan panas bumi di Desa Wae Sano mengadopsi tradisi ini sebagai mekanisme pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat adat.

Hal ini sekaligus menunjukkan respect proyek terhadap adat istiadat masyarakat setempat. Lonto Leo juga digunakan sebagai mekanisme masyarakat adat dengan pihak proyek untuk meninjau setiap tahapan proyek, mulai dari perubahan desain, penyediaan lahan, kompensasi, konstruksi hingga pengeboran, sesuai dengan IPP (Indigenous People Plan) atau Rencana Penanganan Masyarakat Adat.

Lonto leo ini sendiri telah dilaksanakan tanggal 20 Januari 2022 pagi di Kampung Taal, 20 Januari 2022 sore di Kampung Lempe, dan 24 Januari 2022 pagi di Kampung Nunang. Lonto leo bahkan juga digelar di tingkat Desa Wae Sano, yang berlangsung tanggal 25 Januari 2022.

Lonto Leo dengan masyarakat adat dilakukan di tiga tempat, mengingat secara adat masyarakat Wae Sano terhimpun ke dalam beberapa komunitas/ kampung adat.

Rinciannya Kampung Nunang, yang juga diakui sebagai kampung asal tiga kampung lainnya yaitu Kampung Ponceng Kalo, Kampung Wakar dan Kampung Dasak; Kampung Lempe; dan Kampung Taal.

Setiap kampung adat dipimpin oleh seorang Tu’a Golo. Sementara itu sebagai satuan kampung hasil pemekaran dari kampung adat utama, kampung Ponceng Kalo, Wakar dan Dasak dipimpin oleh Tu’a Mukang, yang juga membawahi beberapa orang Tu’a Batu.

Hasil Konsultasi

Konsultasi atau Lonto Leo yang dilaksanakan di empat tempat ini, dihadiri Tu’a Golo, Tu’a Mukang, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Antropolog/ Penasihat Senior Kantor Staf Presiden, hingga Penjabat Kepala Desa Wae Sano.

Lonto leo guna membahas dokumen IPP ini, semuanya berjalan lancar. Seluruh masyarakat adat yang hadir menyetujui dokumen IPP Proyek Geothermal Wae Sano, yang dibuktikan dengan penandatanganan Berita Acara Lonto Leo, baik di Kampung Taal, Kampung Lempe, maupun Kampung Nunang.

“Saya mengikuti informasi terkait proyek ini sejak awal. Saya merasa sangat tersentuh,” kata Yovita Ermi, warga Dasak, Kampung Nunang, Wae Sano, dalam forum Lonto Leo ini.

Ia meyakini, apa yang disampaikan para ahli, tentu berdasarkan penelitian yang matang. Demikian halnya dengan keseriusan pemerintah melirik potensi panas bumi di Wae Sano, tentu tidak untuk merusak Wae Sano dan masyarakat di dalamnya.

“Karena itu, saya mendukung proyek ini. Kapan lagi kami maju. Tolong jangan ditunda program ini. Kami tidak mau menyesal seumur hidup,” ujar Yovita.

Hal tak jauh berbeda dilontarkan Valentinus Upen, warga Ponceng Kalo, Kampung Nunang. Menurut dia, jika proyek ini berjalan, maka tidak akan ada pengangguran di Wae Sano.

“Saya sangat menyesalkan proyek ini terlambat. Sekarang ini banyak yang nganggur. Kalau proyek ini ada, kami tidak perlu jauh-jauh ke daerah lain untuk mencari kerja,” tutur Valentinus Upen, yang pernah merantau ke Bali hanya untuk mendapatkan pekerjaan.

Adapun Epifanus G, warga Kampung Nunang, menyuarakan soal infrastruktur jalan hingga program beasiswa yang dijanjikan pemerintah dan pihak perusahaan. Epifanius secara khusus meminta pemerintah dan perusahaan agar segera memikirkan pengerjaan ruas jalan menuju Ponceng Kalo, Wakar, dan Dasak.

“Saya minta pemerintah bersama PT Geo Dipa Energi supaya memperhatikan ini. Apalagi dana desa sudah tidak dialokasikan ke sarana dan prasarana,” tegas Epifanus, yang juga aparat Desa Wae Sano.

“Dan di kemudian hari jika proyek ini dilaksanakan, mohon prioritaskan anak-anak kami diberikan beasiswa supaya setelah tamat mereka dipekerjakan di sini,” imbuhnya.

Harapan senada disampaikan Servas Naman, tokoh adat Kampung Nunang. Ia mendesak agar proyek ini secepatnya memberikan titik terang, karena terkait kesejahteraan masyarakat.

“Soal memfasilitasi anak-anak dengan beasiswa saat eksplorasi, kenapa tidak sekarang saja dimulai?” usulnya.

Adapun Tu’a Golo Nunang, Maksimus Taman, secara khusus mengingatkan bahwa sesungguhnya sudah ada kesepakatan sejak awal antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Ia pun secara khusus mengingatkan salah satu poin dalam kesepakatan awal, yakni terkait sertifikasi lahan milik warga. Hal ini penting, karena menyangkut aset milik warga.

“Saya mendukung sekali proyek ini. Saya ingat Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) bilang, di negara maju aset yang bekerja keras dan orangnya bisa berlibur. Sementara di negara berkembang seperti Indonesia, aset malah nganggur, dan orangnya bekerja keras,” ujar Maksimus Taman.

Aleksander Lambut, tokoh masyarakat Nunang yang juga mantan Ketua BPD, juga mengingatkan beberapa kesepakatan awal termasuk dengan Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi.

Ia percaya, pemerintah konsisten dengan kesepakatan tersebut. Baik tentang atap seng warga, ganti untung lahan dan tanaman, hingga penyerapan tenaga kerja lokal.

“Khusus soal penyerapan tenaga kerja lokal, tentu tidak bisa juga dipaksakan, kalau tidak punya kompetensi. Tapi warga Nunang jangan sampai menjadi penonton abadi. Jangan juga selamanya menjadi pekerja kasar,” tegas Aleksander Lambut.

“Berikan anak-anak kami beasiswa untuk memperkuat SDM lokal. Karena kami sudah punya SDA, tetapi SDM kami belum apa-apa,” imbuhnya.

Ia pun meminta agar proyek ini segera dilaksanakan. Apalagi faktanya, menurut dia, tidak ada konflik horizontal di Wae Sano karena rencana kehadiran proyek panas bumi ini.

“Jangan ditunda lagi. Karena di sini tidak ada pro dan kontra. Hanya cara penyampaian pikiran kami yang berbeda kepada pemerintah dan perusahaan. Sekali lagi, tidak ada istilah konflik horizontal di sini!” ujar Aleksander Lambut

Ia bahkan menyesalkan pihak-pihak yang lebih banyak meributkan hal ini di luar. Apalagi ada yang hanya secara khusus menjejali kepala masyarakat dengan dampak buruk kehadiran proyek ini.

“Kalau para aktivis mau membawa kebaikan, mengapa mereka hanya bertemu kelompok tertentu? Saya mau, apa baik dan buruknya, semuanya dibicarakan. Kalau memang ada yang buruk, bagaimana caranya diminimalisir. Berikan pikiran yang positif kepada masyarakat. Karena apapun itu, tidak ada yang sempurna. Pasti saja ada dampaknya,” tegas Aleksander Lambut.

Ia bahkan memastikan, kehadiran proyek geothermal Wae Sano akan membawa dampak positif bagi masa depan daerah itu, termasuk di sektor pariwisata.

“Dengan kehadiran geothermal, pasti akan membawa dampak positif bagi masyarakat, termasuk pariwisata. Tentu bukan untuk kami, bukan untuk Tu’a Golo, karena kami sudah tua. Apa yang saya omong, untuk anak-anak kami, adik-adik kami di Nunang ini,” tutur Aleksander Lambut. (334)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.