Implementasi Bus Listrik, Solusi Atasi Emisi Karbon Sektor Transportasi Indonesia

diskusi transportasi
Foto bersama narasumber diskusi masalah transportasi. (ist)

MANGUPURA | patrolipost.com – Sebanyak 26 persen emisi karbon energi di Indonesia berasal dari sektor transportasi. Selain kendaraan bermotor pribadi, transportasi publik menyumbang hampir separo emisi transportasi karena kilometer tempuhnya yang tinggi. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan dikarbonisasi sektor transportasi dengan beralih ke moda transportasi yang lebih bersih, yaitu implementasi bus listrik.

Hal ini diungkapkan Direktur ITDP Asia Tenggara Faela Sufa dalam diskusi hari ke-2 rangkaian Sustainable Transportation Forum 2022 dengan pembahasan utama bertajuk “Perkembangan Transportasi Umum di Indonesia: Langkah untuk Kolaborasi” di Bali International Convention Center Nusa Dua, Kamis (20/10/2022).

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut dikatakan, dukungan pemerintah dan political will sangat penting dalam menentukan keberhasilan elektrifikasi transportasi publik. Di India, pemerintah memberikan subsidi pengadaan bus listrik hingga 40 persen dan menjadikannya lebih kompetitif dibandingkan dengan bus konvensional. Bahkan, inovasi terkini dilakukan melalui penyelenggaraan bulk procurement. Skema ini memungkinkan pembelian armada listrik dalam jumlah banyak hingga 5 ribu unit.

“Mereka mendapatkan harga lebih murah daripada bus berbasis diesel. Namun, elektrifikasi transportasi publik masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam segi pembiayaan karena harga penyediaan armada dan fasilitas pendukung yang masih lebih mahal,” ujarnya.

Direktorat Transportasi Kementerian PPN Akhmad Fais Fauzi menerangkan meningkatnya 1 persen urbanisasi di Indonesia, hanya menghasilkan peningkatan sebanyak 1,4 persen PDB per kapita. Meskipun pembangunan sistem transportasi massal menjadi solusinya, namun belum adanya lembaga yang mampu mengintegrasikan pembangunan, pengelolaan transportasi perkotaan metropolitan lintas moda dan lintas administrasi. Sedangkan beberapa pemerintah daerah (Pemda) kesulitan untuk memenuhi, padahal amanat Undang-Undang telah mendesentralisasikan angkutan umum massal menjadi tanggung jawab pemda.

“Hingga saat ini masih menjadi tantangan dalam mewujudkan hal tersebut seputar kelembagaan, perencanaan, serta keterbatasan fiskal daerah. Belum ada lembaga yang mampu mengintegrasikan pembangunan, pengelolaan transportasi perkotaan metropolitan lintas moda dan lintas administrasi. Kapasitas fiskal juga menjadi sorotan, di mana hanya DKI Jakarta yang memiliki kemampuan untuk membangun MRT, LRT, BRT, dan moda lainnya,” ungkapnya.

Sementara Principal Advisor SUTRI NAMA & INDOBUS Achmad Zacky Ambadar menjelaskan akan mencoba mengelaborasi pembiayaan alternatif yang dapat digunakan untuk pengembangan angkutan umum. Dari sisi regulasi, ada beberapa skema pendanaan yang tersedia dengan menekankan pada aspek kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah. Beberapa opsi pembiayaan antara lain sinergi APBN dan APBD, pinjaman daerah, obligasi dan sukuk daerah, pinjaman luar negeri, serta hibah.

“Pasal 158 Undang-undang (UU) No 22 Tahun 2009 menyebutkan bahwa angkutan massal berbasis jalan memiliki 4 syarat, yakni bus berkapasitas angkutan massal, lajur khusus, trayek yang tidak berimpitan, dan adanya angkutan pengumpan. Namun, jika dikaitkan dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sektor perhubungan dikategorikan ke dalam non-pelayananan dasar. Hal ini menyebabkan alokasi anggaran bergantung pada komitmen tiap pemimpin daerah,” jelasnya. (030)

Pos terkait