Geger! Pastor Kepala Sekolah St Klaus Kuwu Jemput Ajal Lebih Cepat dengan Gantung Diri

bunuh diri
Ilustrasi korban bunuh diri. (ist)

RUTENG | patrolipost.com – Kepala Sekolah Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) Santu Klaus, Gregorius Ansianus Syukur (54) meninggal dunia dengan gantung diri di Asrama Putra SMA Santo Klaus Kuwu, Desa Poco Likang, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis (16/02/2023) pagi.

Diketahui, Ansy Syukur merupakan seorang pastor Katolik yang dipercaya menjadi kepala sekolah katolik yang cukup terkenal tersebut. Sebelumnya, Pastor Ansy Syukur pernah mengabdi menjadi dosen di Unika St Paulus, Ruteng.

Bacaan Lainnya

Menurut informasi dari Humas Polres Manggarai, beberapa personel polisi yakni Kapospol Kecamatan Ruteng Bripka Yohanes Sardin, bersama Bhabinkamtibmas, yakni Aipda Arkadius Arnol, Brikpka Yoni Tandungan, dan Bripka Fransiskus XN Janggur langsung menuju ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Asrama Putra Santo Klaus Kuwu, Kamis (16/02/2023) sesaat setelah mendapatkan informasi pastor gantung diri tersebut.

Informasi dari TKP, Kapospol Kecamatan Ruteng, dan Bhabinsa kronologis peristiwa tersebut. Dijelaskan,  pada Kamis (16/02/2023) sekitar pukul 06.50 Wita, dua orang siswa bernama Paulus G Panggur bersama Isnoari G Jadu hendak membangunkan korban (Pastor Ansy Syukur).

Pada saat Paulus dan Isnoari membuka pintu kamar dari korban (Romo) mereka tidak melihat Romo di atas tempat tidur, namun korban (Romo) ditemukan meninggal dunia dalam keadaan tergantung di jendala kamar dekat pintu masuk.

Belum diketahui motif bunuh diri yang dilakukan pastor Ansy Syukur. Selain berduka karena kematiannya yang tidak wajar, kejadian ini bisa jadi menimbulkan spekulasi liar di kalangan umat, karena kejadian bunuh diri yang melibatkan pastor termasuk langka.

Psikolog Jefrin Haryanto menilai, peristiwa pengakhiran hidup secara tidak wajar itu tidak mengenal kelas, strata sosial, profesi. Kejadian ini bisa terjadi pada siapa saja dan pada kelompok sosial mana saja.

“Semua orang butuh orang lain termasuk biarawan/biarawati. Beberapa biara biasanya sudah punya pendamping psikologi, atau minimal punya tradisi konseling komunitas. Memang akan ada hambatan psikologis dimana biarawan/i dicitrakan sebagai orang yang tanpa masalah, sehingga membuat mereka juga ketiadaan tempat berbagi cerita,” tandasnya. (pp04)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.