Bisnis ‘Lendir’ Masih Subur di Kota Pahlawan, Dolly Belum Mati

Bisnis esek-esek atau lendir, masih tumbuh subur di Kota Pahlawan, Surabaya. (ist)

SURABAYA | patrolipost.com – Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Dolly ditutup oleh Tri Rismaharini, yang kala itu menjabat Wali Kota Surabaya. Penutupan dilakukan pada tanggal 27 Juli 2014, dan sejak itu Kota Pahlawan seperti bebas dari cerita tentang prostitusi di Dolly .

Setelah hampir tujuh tahun berlalu, cerita tentang prostitusi di Dolly ternyata belum juga mati. Bahkan di masa pandemi Covid-19 saat ini, dunia prostitusi di Dolly masih tumbuh subur.

Informasi itu diulas dalam video podcast di Youtube Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (IKA Stikosa-AWS) yang diluncurkan, Minggu (6/6/2021) malam. Podcast dengan tema Lingkaran Kota Kita itu berjudul ” Dolly Belum Mati “.

Podcast dipandu oleh Noor Arief Prasetyo penulis buku Surabaya Butuh Lokalisasi . Pria yang juga pengurus IKA Stikosa AWS itu berdialog secara eksklusif dengan narasumber berinisial LD (nama samaran).

LD adalah perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Dolly saat ini. “Lokalisasi dan prostitusi di Dolly adalah ruh dan tubuh. Kini Dolly seperti hantu, bergerak tanpa wujud,” kata Noor Arief membuka podcast.

Dari podcast tersebut, banyak informasi terkuak dari bisnis lendir terselubung di Dolly . Mulai dari cara menggaet tamu, kehidupan PSK dan muncikari, tarif, tempat kencan, razia, kondisi sosial Dolly, hingga faktor kesehatan para PSK.

Di awal wawancara, Noor Arief (dtc) memancing pertanyaan pada LD tentang cerita kehidupan prostitusi di lokalisasi Dolly saat ini. LD menjelaskan jika saat ini aktivitas prostitusi secara nyata memang tidak ada. Tapi kebanyakan PSK yang pernah kerja di Dolly kost di bekas wisma yang jadi tempat prostitusi.

“Mereka (bekas PSK) dijadikan oleh muncikari untuk bekerja lagi. Tapi tentunya dengan persetujuan anaknya karena kebanyakan kan ngasih nomer telepon ke para muncikari. Kalau ada tamu saya siap dihubungi. Dan mereka stand by nya di kost masing-masing. Kalau ada tamu tinggal kasih fotonya saja, kalau sudah cocok langsung jadi,” ungkap LD.

LD mengaku, tanpa adanya wisma seperti dulu, saat ini muncikari bekerja di jalan-jalan di wilayah Dolly dan di sepanjang Jalan Girilaya. “Kalau ada mas-mas atau bapak-bapak berdiri disitu, biasanya cari tamu,” kata LD. Ia mengaku, aktivitas prostitusi di Dolly hanya berlangsung malam hari. Dimulai pukul 19.00 WIB para muncikari sudah mulai mencari tamu.

Untuk tarif jasa prostitusi , LD mengaku tidak tahu angka pastinya. “Kalau tarif itu kita biasanya gak ngerti. Kadang minimal itu kita dapat bersih 150 (ribu). Tapi kadang kalau tamu luar kota ditarif 500, kita tetap dapatnya segitu, karena kita tidak tahu transaksi di luar,” paparnya.

Namun, ia mengaku jika tamu membayar di depan PSK saat usai kencan maka pembagian yang diterima bisa lebih besar. “Kalau tamu deal dan bayar 500 ribu, maka muncikari tidak bisa berbuat apa-apa. PSK dapat 250 dan muncikari 250. Kamar tetap jadi tanggungan muncikari dan 250 itu masih mereka bagi karena bisa dua atau tiga orang muncikari,” katanya.

Untuk tempat atau lokasi kencan, LD mengaku ada tamu yang mengajak ke hotel atau di tempat milik tamu, bahkan di kamar yang disewakan di lokasi Dolly . Untuk pembayaran kamar sudah dilakukan oleh muncikari dari harga transaksi yang sudah disepakati dengan tamu.

Untuk razia oleh aparat , kata LD, biasanya hanya dilakukan pada hari atau momen tertentu. Misalnya saat menjelang puasa Ramadhan, 17 Agustus, atau Idul Adha. “Kalau hari-hari biasa, gak ada (razia),” ujarnya.

Terkait kondisi kesehatan para PSK, LD mengaku tidak ada kontrol dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, seperti saat Dolly masih belum ditutup.

“Kalau dulu ada (cek kesehatan oleh Dinkes). Kalau sekarang atas dasar kesadaran anaknya sendiri. Kalau mau sehat ya ke dokter sendiri, kalau gak ya sudah, gak ada yang nasehati. Kan kita gak ada bos,” bebernya.

Para PSK di Dolly saat ini juga tidak ada yang bekerja formal. Mereka tinggal di kost dan hanya bekerja malam hari sebagai PSK. “Kalau siang hanya di kost. Nyaris tanpa pekerjaan. Hanya mengandalkan kenalan dan dapat telepon dari kenalan. Karena kebanyakan kalau siang muncikarinya kerja normal. Ada yang ke bangunan atau kemana. Kalau malam aja cari pendapatan sampingan,” ujar LD.

Mengenai kehidupan sosial di Dolly yang beroperasi secara terselubung pasca ditutup, LD mengaku tidak ada masalah. “Saya bilang kelebihan orang kampung sana. Karena kebanyakan orang sana itu diam, asal anak (PSK) itu gak resek, tidak berbuat apa-apa, gak mau tau orangnya. Kita banyak menghasilkan di kampung situ. Contohnya kayak laundry, jualan makan karena anak-anak (para PSK) beli di orang kampung situ. Jadi kalau sekedar laki-laki dan perempuan masuk kamar itu sudah biasa,” ungkapnya.

LD berharap, para PSK bisa difasilitasi tempat lokalisasi sepeti Dolly yang pernah beroperasi secara legal dan ada dalam pengawasan. “Saya lihat untuk sekarang ini semakin lama semakin nambah (jumlah PSK) tapi liar dan tidak ada pengawasan tertentu, kesehatan atau gimana itu gak ada. Lebih baik diadakan saja kayak dulu tapi dengan pengawasan dan syarat-syarat tertentu. Sama aja (prostitusi Dolly saat ini) malah makin menjadi,” pungkasnya. (305/snc)

 

 

Pos terkait