Apartemen Jadi Tempat Prostitusi, Camat Janji Lakukan Penertiban

Sejumlah apartemen beralih fungsi sebagai tempat praktek prostitusi. (ilustrasi/net)

BANDUNG | patrolipost.com – Camat Jatinangor, Heri Dewantara membenarkan adanya praktek alih fungsi apartemen yang diduga dijadikan praktek prostitusi. Hal tersebut disampaikannya saat bertemu di pelataran Gedung Induk Pusat Pemerintahan (IPP) Kabupaten Sumedang.

Kabarnya, untuk praktek alih fungsi apartemen seperti itu disewakan per hari, per minggu, hingga per bulan. Berdasarkan informasi yang diterima, biaya sewanya Rp200.000 per hari, dan Rp3,5 juta untuk per bulan.

Namun demikan pihaknya sangat menyayangkan adanya pratek alih fungsi apartemen untuk kegiatan seperti itu.

“Meski alasannya itu tidak ada yang menyewa, seperti oleh kalangan mahasiswa atau bahkan pebisnis, tentunya situasi itu sangat kami sayangkan,” jelasnya, Jumat (4/9/2020).

“Karena bagaimana juga, itu sudah melanggar peruntuk dari pada apartemen,” ujarnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya dalam artikel ”Apartemen di Jatinangor Diduga Disewakan untuk Praktek Prostitusi”, oleh sebab itu, pihaknya bersama instansi terkait akan melakukan langkah penertiban.

“Setidaknya saat ini, ada tujuh apartemen di wilayah Jatinangor,” ungkapnya.

Prostitusi Subur di Apartemen
Tumbuh suburnya prostitusi di apartemen di kota besar imbas praktik prostitusi di losmen, hotel melati, dan spa kerap menjadi sasaran razia.

“Para pekerja seks pun berpindah ke apartemen atas pertimbangan keamanan dan kenyamanan,” kata Psikolog Sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro.

Dibandingkan dengan hotel, menurutnya, apartemen lebih menarik dari segi tarif dan perlindungan identitas. Prostitusi muncul di apartemen dengan sangat tidak kentara.

“Masuk ke apartemen tidak kelihatan. Kalau saya punya apartemen, saya sewakan, orang hanya bayar. Tidak perlu lapor ke penjaga,” ujar Koentjoro.

Ditambah lagi, lingkungan apartemen cenderung bebas dan permisif. Di sisi lain, aplikasi pesan online yang dimanfaatkan sebagai media untuk mencari pelanggan, kata Koentjoro, bertujuan memberikan perlindungan identitas.

“Sarana ini bukan hanya terkait mengikuti perkembangan zaman, melainkan pula untuk kamuflase, dari nama hingga foto,” tuturnya.

Motif pekerja seks di apartemen, ungkap Koentjoro, mengarah ke gaya hidup dan materialistis simbolik. Biasanya, mereka yang menawarkan jasa “kenikmatan sesaat” itu berasal dari kalangan menengah ke atas.

Dihubungi terpisah, sosiolog dari UGM Derajad S Widhyharto mencermati, banyaknya apartemen yang dibangun adalah fenomena baru karena desakan permintaan hunian di lahan perkotaan yang terbatas. Penghuninya punya hak istimewa berupa keamanan dan kenyamanan, yang ikut mendorong prostitusi berpindah ke apartemen.

“Sebagai bisnis asusila, prostitusi membutuhkan ruang privat dan apartemen dinilai sangat cocok. Sehingga, prostitusi di apartemen pun merajalela dan tak terkontrol,” ujarnya. (305/prc)

Pos terkait