Aktivis Anak dan Perempuan Soroti Kejahatan Pedofile di Bali

Aktivis anak dan perempuan, Siti Sapurah. 

 

Bacaan Lainnya

 

DENPASAR | patrolipost.com -– Seperti diberitakan sebelumnya, pria asing warga negara Prancis bernama Emannuel Alain Pascal Maillet (53) duduk di kursi persidangan atas kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur.

Perbuatan terdakwa terbilang keji lantaran mencabuli korban yang merupakan anak sahabatnya sendiri sebanyak 10 kali. Hal itu dilakukan terdakwa sejak 2017 silam.

Namun dalam persidangan, terdakwa membantah melakukan pencabulan padahal ada saksi yang melihat perbuatan terdakwa. Hal ini tentu saja menjadi sorotan berbagai pihak.

“Dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak atau pedofile, yang bisa dijadikan unsur untuk menjadikan seseorang sebagai pelaku hanya ada dua unsur,” kata aktivis anak dan perempuan Siti Sapurah, Rabu (6/1/2021) di Denpasar.

Unsur pertama yakni saksi korban karena keterangan anak selaku korban dapat dipastikan jujur. Unsur kedua yaitu alat bukti lain berupa hasil visum dan hasil tes psikologi.

“Jadi kalau sekarang kasusnya sudah masuk ke persidangan, tidak mungkin dong tidak terbukti, kan polisi bukan orang bodoh. Pasti ada dua alat bukti yang cukup sehingga dia menjadi tersangka, P21 dan ke persidangan,” paparnya.

Perempuan yang akrab disapa Ipung ini mengungkapkan, sudah bukan hal aneh jika pelaku pedofile akan mengakui perbuatannya. Apalagi pelaku tahu jika ancaman pidana bagi pelaku pedofile cukup tinggi.

Ipung tak memungkiri jika di tahun 2002 ancaman pidana terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak masih rendah yaitu minimal 3 tahun dan maksimal pidana penjara 15 tahun.

Namun sejak adanya perubahan Undang-undang pada tahun 2014, ancaman pidana bagi pelaku pedofile naik menjadi minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.

“Tapi pada tahun 2016 saya berteriak, itu pas di acara Indonesia Lawyer Club. Saat itu saya bilang bisa tidak pelaku kejahatan seksual terhadap anak, diancam pidana minimal 20 tahun dan maksimal hukuman mati, itu bahasa saya di ILC,” ucapnya.

Rupanya kata Ipung pernyataannya direspon pemerintah dengan mengeluarkan Perpu nomor 1 tahun 2016 yang kemudian dijadikan Undang-undang nomor 17 tahun 2016, dan saat ini muncul PP nomor 70 tahun 2020 di mana ada ancaman pemberatan bagi pelaku kejahatan seksual.

“Dalam PP nomor 70 tahun 2020, ancaman hukuman bagi pelaku pedofile minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun, sampai hukuman mati atau hukuman seumur hidup,” kata Ipung.

“Ditambah pemberatan lain seperti kebiri kimia, ada pemasangan alat detektor jika dia tidak dihukum seumur hidup atau hukuman mati. Setelah keluar dari penjara dipasang chip guna pengawasan, serta identitasnya diekspos secara besar-besaran terus menerus,” sambungnya.

Dengan ancaman pidana yang cukup tinggi tutur Ipung, wajar jika pelaku akan berfikir dan akan berupaya menghindari dengan tidak mengakui perbuatannya.

Ipung lalu meminta kepada jaksa dan hakim agar serius dalam menangani kasus ini lantaran para pelaku diyakini tidak akan berhenti melakukan aksinya sebelum ia mati.

“Anak yang menjadi korban akan mengalami trauma seumur hidup, dia tidak akan berani berdekatan dengan laki-laki, dia tidak akan berani melihat tubuhnya sendiri karena merasa dirinya sudah rusak,” terangnya. (wie)

 

 

Pos terkait