Mobilitasi Masyarakat Tinggi, STLD Wajib bagi Duktang di Wewidangan Desa Adat Renon

desa adat renon
Ketua Baga Parahyangan, Pelemahan dan Pawongan (BP3) Desa Adat Renon, I Wayan Sukarsa saat dijumpai di Kantor Desa Pakraman Adat Renon. (yani)

DENPASAR | patrolipost.com – Surat Tanda Lapor Diri (STLD) merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga pendatang (duktang) yang ada di wewidangan Desa Adat Renon, Denpasar Selatan. Hal ini menyikapi mobilitasi masyarakat yang sangat tinggi dengan berbagai kepentingan, baik bertempat tinggal menetap atau sementara waktu di wilayah Desa Pakraman Adat Renon yang sekaligus menjadi wilayah administratif desa dan kelurahan di Kota Denpasar.

Ketua Baga Parahyangan, Pelemahan dan Pawongan (BP3) Desa Adat Renon I Wayan Sukarsa mengatakan, selain untuk menjaga desa adat kondusif aman, nyaman, tertib, dan damai, STLD juga bertujuan memudahkan pendataan dan memonitor pergerakan warga pendatang serta dapat meminimalisasi tindak kriminal di wilayah Desa Adat Renon.

Bacaan Lainnya

Hal ini dilaksanakan sesuai dengan Pasal 1 angka 8 Permendagri Nomor 14 tahun 2015 tentang pedoman pendataan penduduk non permanen yang menyatakan antara lain bahwa pihak masyarakat dan institusi masyarakat mempunyai peran dan tanggung jawab untuk ikut serta dalam mendukung pendataan penduduk non permanen. Demikian juga sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) huruf a Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Perubahan Atas Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, yang memberikan kewenangan kepada Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kota Denpasar.

“Yaitu dapat memusyawarahkan berbagai hal menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan Desa Pakraman dan sesuai dengan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006 tentang hasil-hasil Pesamuan Agung I MDP Bali, medgatur krama tamiu dan tamiu berdasarkan aktivitasnya di Desa Pakraman,” ujar I Wayan Sukarsa saat dijumpai di Kantornya, Rabu (13/10/2021).

Lebih lanjut, pihaknya memaparkan atas ketentuan peraturan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kota Denpasar mengeluarkan Ilikita Krama atau STLD yang mengatur hal-hal antara lain sebagai berikut:

Pertama, Bendesa dan/atau Kelihan Banjar berdasarkan AwigAwig/Pararem/Keputusan diri) kepada krama tamiu dapat dan tamiu menerbitkan yang baru ilikita datang krama dan (surat tinggal tanda menetap lapor maupun sementara, tetapi tidak masuk adat Desa Pakraman setempat.

“Dimana penerbitan ilikita krama ini, untuk upaya pendataan penduduk non permanen dari masalah ketertiban sosial serta keamanan di wilayah Desa Pakraman setempat di Kota Denpasar,” terangnya.

Kedua, terhadap efektifitas pelaksanaan ilikita krama (surat tanda lapor diri) sebagaimana dimaksud poin satu dilakukan oleh Aparat Prajuru Desa Pakroman/Banjar berkoordinasi dengan Aparat Prebekel/Kadus dan/atau Aparat Lurah/Kaling setempat.

“Dengan melakukan pendekatan secara persuasif dalam pembinaan dan penindakan untuk terjaganya ketertiban sosial dan keamanan di Kota Denpasar,” katanya.

Ketiga, penerbitan ilikitakrama oleh Bendesa dan/atau Kelihan Banjar berlaku jangka waktu tiga bulan yang diberikan kepada krama tamiu dan tamiu yang baru datang dan tinggal menetap maupun sementara yang tidak masuk adat di Desa Pakraman, dengan dikenakan dana punia sebesar Rp25 ribu kepada krama tamiu dan Rp 100 ribu kepada tamiu.

“Mengapa yang berasal dari Bali hanya Rp 25 ribu? Karena masyarakat di Bali telah mendapatkan dispensasi lantaran telah diakui dan memiliki adat di desa asalnya, sehingga sudah terdata di desa adatnya serta ikut ngayah. Sedangkan tamiu yang tidak berasal dari Bali serta tidak memiliki sangkut pautnya hanya diminta punia, jadi mereka tidak melaksanakan ayah-ayahan adat,” tuturnya.

Sementara itu, pengenaan dana punia ini digunakan untuk kepentingan panyanggran kapancabayan (menjaga ketertiban sosial dan keamanan dari musibah/malapetaka), dan kepentingan panyanggran parisuda bumi (melakukan ritual penyucian untuk keseimbangan/keharmonisan alam dengan manusia) di lingkungan wilayah Desa Pakraman.

Keempat, penerbitan ilikita krama sebagaimana yang disebutkan, koordinasi pelaksanaannya dilakukan oleh Parum Bendesa Kota Denpasar yang kemudian ditindaklanjuti oleh Bendesa/Kelihan Banjar di masingmasing Desa Pakraman di Kota Denpasar.

Terakhir, surat dikeluarkan, Pakraman Krama Edaran atau Surat Kota adalah Nomor: Tanda Denpasar Lapor menyesuaikan 362/08.Org/SE/MMDP/Dps/VII/2017 NomorDiri/STLD : Keputusan14/12-SK/MMDP/VII/2014 tertanggal Majelis 01 Januari tentang Madya 2017 tentang Ilikita Desa ini.

“Jadi secara dasar hukum sudah sangat lengkap, sehingga perlu kami informasikan kepada seluruh warga di wewidangan Desa Adat Renon untuk mendukung program ini, karena ini semua demi kebaikan kita bersama,” tuturnya.

Pihaknya menyebutkan dalam per bulan kurang lebih sekitar 500 masyarakat pendatang yang terdata. Dimana dalam per tahun pemasukan dari pengenaan dana STLD ini kurang lebih mencapai Rp 25 juta.

“Sekitar Rp 25 juta, itu belum dipotong berbagai macam administrasi. Karena kita juga ada orang lapangan yang harus kita gaji dan beri transport. Mungkin kurang lebih bersih yang didapat Rp 10-15 juta per tahunnya,” jelasnya.

Pihaknya menjelaskan untuk dana yang didapat akan digunakan untuk pembangunan desa dan akan dipertanggungjawabkan pada paruman Desa setiap akhir tahun hasilnya dilaporkan secara terbuka.

“Kita di desa adat untuk dalam satu tahun itu ada berbagai prosesi dengan segala macamnya. Sehingga dengan adanya pemasukan ini kita bisa mengurangi biaya anggaran dan ini membantu,” tambahnya.

Dalam masa pandemi, semua lapisan masyarakat mengalami keterpurukan ekonomi. Di masa pandemi seperti ini diharapkan agar Krama Desa semakin memperkuat persatuan dan bergotong royong, secara bersama-sama keluar dan membebaskan diri dari kemelut ekonomi serta permasalahan yang dihadapi.

“Bagaimanapun program-program desa adat harus tetap dijalankan kesejahteraan untuk memberikan masyarakat pelayanan kepada krama. Untuk itu pentingnya komunikasi lebih baik. Kalau memang tidak bisa atau tidak ada dana silakan berkomunikasi dan kami akan berikan tenggat waktu jatuh tempo. Jadi kapan bisanya karena bagi kami yang penting datanya bisa masuk, kami juga tahu keberadaan mereka. Hal ini juga untuk jaga-jaga bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” tandasnya.

Beberapa penduduk pendatang yang menyewa kos-kosan di seputaran wilayah Renon mempertanyakan pungutan STLD yang dilakukan petugas dari Desa Adat Renon sebesar Rp 100 ribu per jiwa pada saat pendataan. Selanjutnya setiap 3 bulan STLD diperpanjang hanya untuk 1 kepala keluarga sebesar Rp 100 ribu. Perpanjangan dilakukan setiap 3 bulan sehingga dalam setahun, duktang dikenai uang sumbangan Rp 400 ribu. (030)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

1 Komentar

  1. dana dr pemerintah ke mana? apa di korupsi? semua warga negara punya hak yang sama mereka juga bayar pajak, jadi g perlu bikin aturan untuk kependudukan di luar aturan nasional