Warga Ubud Mengadu ke Kemenko Polhukam

GIANYAR | patrolipost.com – Warga Tegal Jambangan, Desa Sayan, Ubud mengadukan perkara tanahnya yang tidak kunjung ada penyelesaian, ke Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Kasus tanah warga yang digusur oleh investor dan oknum tokoh masyarakat Ubud itu sebelumnya sudah dua kali dilaporkan ke Komnas HAM, namun tidak ada tanggapan. Warga juga menilai, penggusuran dilakukan tanpa prosedur hukum.

Di balik tembok tinggi membentang dan batas kawat berduri,  sejumlah warga Tegal Jambangan yang digusur oleh investor tahun 2017 lalu rupanya masih bertahan. Mereka memilih berteduh dalam gubuk darurat lantaran rumah permanennya sudah dirubuhkan oleh alat berat. Dari tujuh rumah kepala keluarga (KK) yang digusur, ada enam KK memilih bertahan. Satu KK pergi lantaran tidak kuat lagi hidup dengan kekhawatiran.

Salah seorang warga,  Dewa Made Rai (70), saat ditemui di rumah daruratnya, Senin (1/7) menyebutkan, jika dirinya bersikukuh bertahan meski jiwa taruhannya. Bahkan, adiknya yang juga kukuh ikut berjuang, yakni Dewa Ketut Raka Sudarma (65), kini sudah meninggal lantaran stres. 
“Sejak penggusuran itu, adik saya depresi berat. Kata dokter, karena sakit di saraf dan kejiwaan,” ujar Dewa Made Rai.

Dewa Made Rai yang didampingi warga lainnya Dewa Made Suanda (58), menyebutkan, pihaknya telah meminta bantuan ke Komnas HAM. Saat itu dia bertemu dengan sejumlah komisioner, satu di antaranya Natalius Pigai.

“Kami minta perlindungan karena adanya penguasaan tanah kami tanpa prosedur hukum yang jelas. Waktu itu, katanya Komnas HAM akan membantu, tapi sampai sekarang tak pernah ke sini,” ujarnya.

Pengacara warga, Putu Arsana membenarkan hal tersebut. Pihaknya sudah dua kali melayangkan surat ke Komnas HAM, namun tidak pernah ada tindak lanjut. Tak hanya itu, kata dia, hampir semua lembaga di Bali tidak ada yang mempedulikan nasib warga Tegal Jambangan.

“Kini kami mengadu ke Kemenko Polhukam, kami hanya berharap kasus ini dibuka. Apa yang menjadi dasar penguasaan tanah warga. Kami mau penjelasan, kalau penjelasannya masuk akal, warga akan angkat kaki dari sini,” tandasnya.

Kata Arsana, pihaknya mendapatkan informasi tanah seluas 50 hektare di Tegal Jambangan telah dikuasai oknum tokoh masyarakat Ubud, lalu dijual pada investor.

“Tahun 1970 ada suruhan tokoh Ubud, yang ceritanya ingin membantu warga mensertifikatkan tanah, semua surat tanah dari warga diminta dikumpulkan. Diurus di Kantor Camat Ubud. Lama tidak selesai, warga menanyakan, dikatakan sertifikatnya hilang. Tahun 2000an, dapat informasi tanah ini sudah disertifikatkan oleh tokoh Ubud, dan sebagiannya dijual. Warga diminta meninggalkan tempat ini,” ujarnya.

Lucunya, kata dia, dalam sertifikat yang terungkap di Polda Bali, justru yang menandatangani sertifikat adalah Lurah Ubud, yang tidak ada hubungannya dengan Tegal Jambangan, lantaran kawasan ini berada di wilayah administrasi Desa Sayan. “Kejangalan inilah yang kami ingin Kemenko Polhukam turun tangan. Karena di sini (Bali) tidak ada lagi yang bisa kami harapkan,” pungkasnya. (ata)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.