Polemik Lahan Bandara Bali Utara (1): Bendesa Adat Kubutambahan Tuding Ada Pihak yang Cari Sensasi

Bendesa Adat Kubutambahan Drs Jro Pasek Ketut Warkadea, Penyarikan desa adat Made Putu Kerta dan Gede Anggastia, tokoh masyarakat Kubutambahan yang juga ketua LSM  Pemerhati Pembangunan  Masyarkat Buleleng (P2MB). (cha)

SINGARAJA | patrolipost.com – Polemik lahan bandar udara (Bandara) Bali Utara di Desa/Kecamatan Kubutambahan semakin tajam. Hal ini ditandai adanya sejumlah pihak di desa tersebut yang menyoal sewa menyewa lahan dianggap tidak terbuka. Bahkan muncul kelompok yang menamakan diri Penyelamat Aset Desa Adat (PADA) yang secara terbuka menuding Bendesa Adat Kubutambahan, Drs Jro Pasek Ketut Warkadea melakukan penyelewengan.

“Mereka asbun bahkan tak memiliki kapasitas untuk bicara soal aset milik Desa Adat Kubutambahan yang dikontrak oleh PT Pinang Propertindo (PP) sehingga apa yang disampaikan ke publik ngawur dan tak berdasar,” ujar  Bendesa Adat Kubutambahan Drs Jro Pasek Ketut Warkadea, didampingi Penyarikan desa adat Made Putu Kerta dan Gede Anggastia, tokoh masyarakat Kubutambahan yang juga Ketua LSM  Pemerhati Pembangunan  Masyarakat Buleleng (P2MB), Minggu (15/11/2020).

Bacaan Lainnya

Jro Warkadea mengatakan, di lahan seluas 370,80 hektar milik Desa Adat Kubutambahan rencananya akan dibangun bandara. Namun rencana itu terbentur adanya ikatan hukum atas lahan duen pura itu dengan PT Pingan Propertindo. Bahkan saat ini telah terbit sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT PP. Bahkan Jro Warkadea membenarkan SHGB itu telah menjadi jaminan bank.

“Jaminan SHGB kepada pihak bank adalah urusan pihak kedua (PT PP) selaku investor sehingga terbit akta tanggungan dan oleh notaris diterbitkan hak tanggungan oleh BPN Buleleng. Berdasar hak tanggungan itu investor manjaminkan SHGB itu ke bank. Dan kita tidak tahu menahu soal itu apalagi sampai memberikan persetujuan karena ranahnya berbeda,” jelas Jro Warkadea.

Dijelaskan, SHGB berbeda dengan sertifikat hak milik (SHM). Selama ini, sebanyak 61 SHM milik Desa Adat Kubutambahan tetap berada di tangannya dan bukan dibawa oleh PT PP. Dalam konteks ini, kata Warkadea, para pihak yang menyoal masalah tersebut tidak mengetahui dengan persis persoalannya sehingga terkesan asbun dan mencari sensasi saat berbicara soal itu ke publik.

“SHGB berbeda dengan SHM. Yang dijaminkan oleh PT PP ke pihak ketiga (bank) itu merupakan SHGB dan itu urusan mereka (PT PP), sedang SHM tetap dipegang oleh kami (Desa Adat Kubutambahan, red). Itu dua hal berbeda yang mesti diluruskan agar tidak memunculkan persepsi negatif dan terkesan memperovokasi warga,” imbuh Jro Warkadea.

Jro Warkadea mengatakan, sejak awal pihaknya sepakat dengan Gubernur Bali soal lokasi bandara di Desa Adat Kubutambahan dengan ketentuan lahan tersebut tetap menjadi hak milik desa adat.

”Ini sejalan dengan visi misi Gubernur Bali dengan jargon Nangun Sat Kerthi Loka Bali tidak melepas status hak milik duen pura. Konsepnya mungkin dengan cara penyertaan modal atau kepemilikan saham. Pada saat kita bicara dengan gubernur soal itu masih ditangani oleh kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) melalui konsorsium PT Angkas Pura I, PT Pembangunan Perumahan dan Perusda Bali,” ungkapnya.

Sayang dalam perjalanannya, kata Warkadea, sejumlah draft disodorkan kepadanya yang berisi ketentuan pelepasan status hak milik  lahan dari desa adat kepada konsorsium maupun pemerintah provinsi. ”Tanah duen pura dilepas statusnya menjadi milik konsorsium dan Pemprov Bali. Jelas dua usulan dalam draft itu saya tolak dan keberatan itu sudah disampaikan ke Wakil Bupati Buleleng bahwa draft itu tidak benar,” tegasnya.

Sedang soal uang sewa lahan, Jro Warkadea menyebut, dirinya mempunyai catatan terinci soal itu termasuk penggunaan anggaran untuk kepentingan desa adat. Bahkan sudah dirangkum dalam laporan pertanggungjawaban (LPJ) desa adat setempat. Yang jelas, menurut Jro Warkadea, uang sewa lahan milik desa adat yang belum diselesaikan pihak PT PP kepada Desa Adat Kubutambahan sebanyak Rp 2,169 miliar lebih. Rinciannya, uang sisa sewa sebesar Rp 1.501.933.500, dan royalty sebesar Rp 667.500,000.

“Jadi kalau ada yang menyebut saya menilep, terlebih disebutkan uang sewa sudah dibayar lunas, itu tidak benar dan saya pastikan itu bohong,” tegasnya.

Sementara itu, sejumlah pihak yang menamakan diri penyelamat asset Desa Adat (PADA) menuding Jro Warkadea tidak terbuka mengelola sewa lahan milik desa adat setempat. Diantaranya bernama Ketut Ngurah Mahkota. Menurut dia, selama ini pihaknya merasa dibohongi terkait lahan seluas 370,80 hektar yang disewa selama 30 tahun oleh PT PP melalui Bendesa Jro Warkadea.

“Kami masyarakat Kubutambahan yaitu desa Negak/Linggih dibohongi selama 7 tahun lebih oleh Jro Pasek Warkadea, perjanjian itu malah ditanda tangani di Hotel wilayah Pemaron. Kalau tidak ada rencana bandara mungkin kebohongan ini terus tertutupi, setelah kami diperlihatkan perjanjian itu oleh Gubernur semua berbeda  disana ada jumlah uang yang terkirim 5,550 miliar dan sudah terlunasi oleh PT PP. Namun yang masuk dalam Kas Desa Adat hanya Rp 2,4 miliar dan dibilang sisanya belum terbayarkan. Katanya Desember 2020 akan dilunasi,” ungkap Ketut Ngurah Mahkota. (625/bersambung). 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.