Sosial Media dan Konflik Informasi

Putu Ronny Angga Mahendra. (Ketua Prodi PPKn – FKIP Dwijendra University).

 

Bacaan Lainnya

 

DENPASAR | patrolipost.com – Sosial media memainkan peranan baru dalam politik, baik skala nasional maupun internasional. Penggunaan sosial media oleh para aktivis digital, telah banyak digunakan di beberapa Negara seperti Brazil, China, Jerman, Polandia, Rusia, dan Indonesia. Sosial media yang awalnya digunakan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat kini juga dimanfaatkan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat kini juga dimanfaatkan untuk melakukan protes-protes politik, pemberontakan, dan melahirkan sejumlah pergerakan. Sosial media menjadi suatu alat politik karena dianggap sebagai kanal yang murah, menjangkau publik, tanpa hambatan geografis. Penggunaan sosial media tidak hanya mengkomunikasikan, berbagi atau menangkap informasi, menganalisa dinamika sosial-politik, mengantisipasi trend ekonomi keuangan, tetapi juga menggambarkan kejadian, realitas, model, persepsi, dan pilihan.

Dalam konteks perang modern, sosial media dapat digunakan sebagai senjata. Tidak heran bila sebagian Negara menganggap sosial media sebagai ancaman keamanan nasional,termasuk terhadap demokrasi, dan pemblokiran terhadap beberapa layanan sosial media. Sosial media dianggap sebagai suatu alat pendukung atau memfasilitasi konflik berbasis informasi, dan cukup untuk menciptakan pemberontakan sosial. Akan tetapi sosial media tidak sepenuhnya salah, karena dia hanya alat. Maknanya, kekuatan di sosial media, tanpa didukung kekuatan di dunia nyata maka tidak akan bermakna apa-apa. Dalam konteks, perkembangan teknologi informasi digital, persepsi ancaman terhadap penggunaan sosial media tidak lain digunakan sebagai propaganda politik. Media sosial telah berubah menajdi sutau platform dimana Post truth dan propaganda saling tumpang tindih. Pemanfaatan media sosial yang tidak bertanggung jawab sebagai alat politik akan semakin memperkuat perpecahan antara kelompok politik, bahkan yang lebih buruk adalah pemikiran sempit di kalangan masyarakat.

Di beberapa Negara demokrasi, sosial media digunakans sebagai tempat berbagi berita dan informasi politik, terutama selama pemilihan. Di Negara otoriter, media sosial digunakan sebagai control sosial bagi politik dan keamanan. Media sosial memainkan peran penting dalam pergeseran gagasan tentang kebijakan publik dan politik. Penggunaan sosial media dapat berdampak negatif pada keamanan nasional dan konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi kepentingan nasional. Salah satu indikatornya adalah terjadinya polarisasi di masyarakat, yang dapat memecah belah masyarakat, menciptakan kubu-kubu, faksi-faksi, dan sentiment anatar kelompok. Bagi Negara, tentunya hal ini akan mengancam proses pembuatan kebijakan dan demokrasi.

Himbauan sejumlah pihak agar menggunakan sosial media secara baik dan benar serta bijak, masih sulit terwujudkan. Berbagai aturan hukum yang selama ini ada juga tidak benar-benar ketat mencegah ataupun meminimalisir penggunaan sosial media secara negatif. Kewajiban mengedukasi masyarakat terkait penggunaan sosial media, sejatinya adalah suatu tanggung jawab berbagai pihak. Tidak hanya pribadi seseorang, keluarga, sekolah, dan juga lingkungan. Pembentukan kegiatan-kegiatan literasi digital di masyarakat adalah suatu gerakan dalam menangkal berita palsu / hoax. Tentunya hal ini akan menjadi berat ketika minat membaca masyarakat masih minim dilakukan. Gerakan inisiasi memasukan kurikulum mengenai literasi digital tentunya juga merupakan solusi dalam menangkal dampak negatif dalam pengunaan sosial media. Metode ini adalah salah satu alternatif dalam menciptakan generasi yang cinta terhadap tanah air dan bangsanya melalui pemanfaatan sosial media secara tepat guna, sehingga mampu memilah dan mengolah informasi mutlak diperlukan dan dilakukan bagi segenap anak bangsa.

‘Whoever controls the media, controls the mind’. (Jim Morrison).

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.