Pemulasaraan Jenazah, Rumah Sakit Minta Uang Rp3 Juta, Faktanya Ini

Direktur RSUD dr Wahidin Sudirohusodo, Sugeng Mulyadi
Perdebatan antara keluarga pasien dengan petugas di RSUD dr Wahidin Sudirohusodo, Kota Mojokerto, Jawa Timur, yang meminta biaya Rp 3 juta untuk pemulasaraan jenazah Pasien Dalam Pengawasan.(net)

MOJOKERTO | patrolipost.com – Sebuah video perdebatan beberapa keluarga pasien dan petugas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wahidin Sudirohusodo Mojokerto viral di media sosial hingga Sabtu (23/5/2020).

Potongan video tersebut tersebar di beberapa media sosial seperti Instagram dan Facebook. Masyarakat juga ramai membagikan video itu di aplikasi pesan instan WhatsApp. Berdasarkan percakapan yang terekam dalam video itu, keluarga pasien mempertanyakan uang sebesar Rp 3 juta yang diminta petugas rumah sakit.

Petugas menyebut uang itu akan digunakan untuk biaya pemulasaraan jenazah pasien yang meninggal. Keluarga itu terlihat beberapa kali mengutarakan keluhannya kepada petugas. Mereka mempertanyakan uang itu.

Namun, mereka juga menyerahkan uang Rp 3 juta itu untuk mengurus jenazah. Pihak keluarga memaksa petugas memberikan kuitansi sebagai tanda bukti pembayaran uang tersebut. Salah satu keluarga korban yang merekam video itu memberi tahu lokasi rumah sakit tersebut.

“Rumah Sakit dr Wahidin Sudirohusodo. Bu Wali (Wali Kota Mojokerto) tolong diperhatikan,” kata salah satu keluarga pasien dalam rekaman itu.

Berdasarkan penelusuran, pihak yang berdebat dengan petugas rumah sakit itu merupakan keluarga dari salah satu pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal pada Selasa (19/5/2020). Pasien berinisial JSH itu berasal dari Kecamatan Gedek, Kabupaten Mojokerto. PDP yang menjalani perawatan di rumah sakit milik Pemkot Mojokerto itu meninggal pada usia 60 tahun.

Direktur RSUD dr Wahidin Sudirohusodo, Sugeng Mulyadi membenarkan bahwa peristiwa dalam video itu terjadi di rumah sakit yang dipimpinnya.

Pihak yang memprotes permintaan uang itu merupakan keluarga dari PDP yang meninggal di RSUD Wahidin Sudirohusodo. Menurut Sugeng, insiden itu terjadi karena kesalahpahaman antara keluarga pasien dan petugas. Sugeng tak memungkiri terjadi kesalahpahaman di antara petugas yang menangani jenazah PDP tersebut.

“Pasien (covid-19) nonreaktif, tetapi kondisinya memang ada pneumonia. Pada tanggal 19 Mei, kondisi memburuk terus meninggal. Rencana mau dilakukan uji swab, tapi keburu meninggal,” kata Sugeng.

Masalah itu muncul karena petugas rumah sakit yang menangani jenazah pasien itu memakai aturan lama. Padahal, dalam aturan terbaru disebutkan bahwa biaya pemulasaraan jenazah PDP bisa diklaim. Dalam aturan lama, biaya jenazah pasien yang belum terkonfirmasi covid-19 tidak ditanggung negara. Biaya Rp 3 juta itu digunakan untuk pengadaan peti jenazah, plastik, dan kebutuhan lainnya. Selain kesalahpahaman petugas, pertengkaran itu juga terjadi karena pihak keluarga tak kuasa mengontrol emosi.

“Masalah yang ramai itu adalah masalah uang. Sesuai SE Nomor 6, (biaya pemulasaraan jenazah) untuk pasien PDP bisa diklaim. Nah, personelnya (petugas) tidak paham, jadi masih menerapkan SE yang lama,” kata Sugeng.

Menurut Sugeng, uang sebesar Rp 3 juta itu hanya sebagai jaminan. Keesokan harinya, petugas rumah sakit itu berkonsultasi dengan atasannya. Atasannya pun membenarkan biaya pemulasaraan jenazah PDP ditanggung negara. Namun, petugas itu tak langsung mengembalikan uang kepada keluarga pasien.
Petugas itu menunggu keluarga pasien datang ke rumah sakit. Tapi belum sempat mengembalikan uangnya. Kesalahpahaman lagi, petugasnya menunggu keluarga datang. Karena saling menunggu, akhirnya meletus itu,” ujar Sugeng. Sugeng memastikan bahwa uang sebesar Rp 3 juta itu telah dikembalikan ke keluarga pasien.

“Untuk masalah ini, kami sudah selesaikan dan berikan penjelasan kepada pihak keluarga pasien. Insya Allah sudah clear,” jelasnya.(305/kmc)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.