Defisit BPJS Kesehatan Rp 12,2 Triliun, KPK: Surat Tak Pernah Digubris Jokowi

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan
Pihak KPK menyurati Jokowi terkait defisit dana BPJS Kesehatan yang mencapai angka Rp12,2 triliun.(ist)

JAKARTA | patrolipost.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, pernah menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal rekomendasi dalam mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Rekomendasi yang diusulkan KPK merupakan solusi tanpa harus menaikkan iuran BPJS kesehatan.

“KPK sudah kirim surat rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS kesehatan, tanpa menaikkan iuran. Tapi enggak ditanggapi itu surat,” kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan dikonfirmasi, Kamis (14/5).

Pahala menuturkan, surat rekomendasi itu diserahkan KPK secara resmi ke Presiden Jokowi pada 30 Maret 2020, atau sebelum adanya keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, hingga kini tidak ada respons dari Jokowi terkait rekomendasi tersebut.

“Tapi nggak ditanggapi itu surat, iya belum ada respons,” sesal Pahal.

KPK pernah membuat kajian soal defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 12,2 triliun. Hasil kajian KPK, menaikan iuran BPJS Kesehatan bukan solusi untuk menangani defisit tersebut.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron menyatakan, penyebab defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan paduan antara permasalahan pada aspek penerimaan dan pengeluaran BPJS kesehatan. Dia menilai, BPJS Kesehatan tak efektif melakukan pembatasan pengguna jasa.

“Pembatasan manfaat yang ada cakupannya terlalu sempit, tidak dapat menjadi instrumen untuk pengendalian biaya dalam pengelolaan JKN dan memberikan dampak negatif,” ujar Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (13/3).

Selain itu, KPK menyebut permasalahan juga ada pada peserta mandiri. Ghufron menyebut sejumlah peserta menggunakan layanan JKN tapi menunggak iuran.

“Ada permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri. Sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian tidak membayar iuran,” papar Ghufron.

Pemborosan pembayaran pada standar rumah sakit juga menjadi penyebab terjadinya defisit. Ghufron lantas mencontohkan, ada rumah sakit yang mengklaim pembayaran tak sesuai dengan layanan yang diberikan.

“Pembayaran pasien yang dirawat di ruang perawatan kelas 3, namun pihak rumah sakit mengklaim sebagai pembayaran ruang kelas 2. Pembayarannya jadi lebih tinggi,” sesal Ghufron.

Untuk diketahui, Presiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II melalui Peraturan Presiden (Prepres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Padahal, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Diduga, salah satu penyebab kenaikan iuran karena BPJS Kesehatan mengalami defisit.(305/jpc)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.