MENGUKUR EFEKTIVITAS KARTU PRAKERJA

Oleh: Komang Agus Rudi Indra Laksmana SE MM *)

KARTU pra-kerja telah resmi diluncurkan oleh Presiden Jokowi di awal bulan April 2020 di tengah pandemic koronavirus yang berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia. Di awal masa kampanye Pilpres 2019, bersama dengan KIP Kuliah dan Sembako Murah, kartu prakerja dipromosikan sebagai program peningkatan keahlian (upskill) dalam menghadapi industry 4.0.

Awal bulan April 2020 merupakan kondisi yang tidak ideal dan tidak terduga bagi siapa pun termasuk bagi Presiden Jokowi. Di tengah pandemic, Presiden menetapkan kartu prakerja tidak hanya untuk program upskill, namun kartu tersebut lebih diprioritaskan bagi masyarakat yang terdampak PHK sehingga diharapkan dapat menanggulangi kemiskinan atau sebagai program “semi bansos” dengan menyasar peserta kurang lebih 7 juta orang.

Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sekitar 2,8 juta pekerja telah terdampak pandemic virus Corona, baik mereka yang dirumahkan dengan pemangkasan upah atau tak diberi upah sama sekali atau bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja. (Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono, Kompas, Senin (13/4/2020). Jelas kondisi ini akan sangat berat dan jumlahnya akan mengalami peningkatan setiap waktu.

Berbagai kalangan mendukung program ini namun tidak sedikit yang memberikan kritik terhadap program kartu prakerja. Sebagian pihak menyatakan bahwa program kartu prakerja ini tepat untuk meringankan beban para pekerja di sektor UMKM yang terdampak PHK karena akan diberikan pelatihan gratis dan diberikan insentif bulanan. Sebagian lainnya menganggap program ini tidak tepat ditengah kondisi sekarang, karena dana yang digelontorkan oleh pemerintah kurang lebih sebesar Rp. 5,8 Triliun dan lebih baik digunakan untuk menanggulangi koronavirus dan dana bansos kepada masyarakat yang membutuhkan.

Terlepas dari pro kontra tersebut, kita tetap menyambut baik dan optimis terhadap program pemerintah ini. Beberapa negara di dunia memiliki skema yang mirip dengan kartu prakerja misalkan di Swedia, Arab Saudi dan Irlandia. Namun terdapat hal yang harus menjadi perhatian bersama dalam pelaksanaan kartu prakerja di Indonesia, yakni.

Pertama, kartu prakerja diluncurkan dalam kondisi yang tidak ideal, pada saat permintaan pasar tenaga kerja turun dan stagnasi perekonomian sehingga penciptaan peluang pasar akan sangat rendah karena daya beli masyarakat menurun,

Kedua, program ini masih bersifat mandiri, artinya setelah peserta mengikuti pelatihan tidak dilanjutkan dengan pendampingan manajemen dan bantuan permodalan.

Ketiga, metode pelatihan via online akan berdampak pada rendahnya daya serap materi pelatihan. Pelatihan yang intens yang terkait dengan skill tertentu misalkan chef, montir, barista, penjahit dan sebagainya memerlukan metode pelatihan face to face, agar simulasi praktek pelatihan dapat diadaptasi dengan baik oleh peserta.

Keempat, inefisiensi anggaran. Salah satu contoh adalah besaran insentif Rp 150.000 yang diberikan pemerintah untuk tiga kali survei pasca pelaksanaan kartu prakerja kepada setiap peserta, dengan total anggaran Rp 840 miliar survei yang dilakukan. secara online. Namun di satu sisi masih banyak terdapat beberapa platform digital yang menawarkan program kursus gratis.

Kelima, permasalahan mental peserta pelatihan. Mengubah mental dan karakter seorang karyawan yang terdampak PHK dan berpindah ke jenis pekerjaa atau keahlian yang baru bukan hal yang mudah. Selain itu, belum ada kepastian penerimaan (rekognisi) dari pasar terhadap lulusan yang telah memperoleh sertifikat pelatihan dari provider.

Kita tetap berharap dan memelihara asa bahwa kartu prakerja ini merupakan salah satu solusi yang akan menjadi “penyelamat” didalam kondisi sekarang. Berbagai bentuk skema dan sistem sudah sepatutnya dicoba dan diapresiasi dalam rangka meningkatkan kapasitas tenaga kerja di Indonesia. Berbagai langkah evaluasi pemerintah dapat dilakukan seperti pendataan peserta yang tepat sasaran, memperbesar alokasi anggaran, efisiensi anggaran, menambah variasi jenis pelatihan yang disediakan bagi calon pekerja.

Program Kartu prakerja ini masih seumur jagung dan masih bisa untuk dilakukan perbaikan bersama mitra lembaga pelatihan untuk dievaluasi mengenai kualitas proses pelatihan dan kualitas output dari program ini, serta yang terpenting adalah membangkitkan solidaritas sosial pada kondisi distrupsi ekonomi saat ini.

*) Penulis adalah Ketua Paramudya Education Centre

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.