Kriyaloka Kenalkan Etika dan Estetika Busana Adat ke Pura

Pakar Busana Bali AA Ngr Anom Mayun K Tenaya (kiri) menguraikan etika dan estetika busana ke pura.

DENPASAR | patrolipost.com – Perkembangan fesyen Bali telah terkontaminasi gaya barat (modern), dilihat dari segi bahan yang digunakan maupun dalam desain. Popularitas mode fesyen menyebabkan punahnya sejumlah kain asli Bali.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mengadakan Kriyaloka (workshop) Busana Adat ke Pura, yang menghadirkan Pakar Busana Bali AA Ngr Anom Mayun K Tenaya, sekaligus dosen Prodi Fashion Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Denpasar. Acara berlangsung di Kalangan Angsoka Taman Budaya, Denpasar, Kamis (12/3/2020), diikuti puluhan peserta.

Kabid Kesenian dan Tenaga Kebudayaan Provinsi Bali Ni Wayan Sulastriani mengungkapkan, digelarnya workshop busana adat ke Pura, untuk memiliki satu persamaan pandangan dalam mengaplikasikan pakem berbusana di Bali.

“Jenis kain, model atau kekhasan dari masing-masing kabupaten beragam, tapi tata cara menggunakan busana yang baik masih banyak yang keliru. Melalui workshop ini kita berharap akan dapat disosialiasikan oleh masing masing kabupaten kota di Bali sehingga generasi kita di Bali paham menggunakan busana yang beretika,” ungkap Sulastriani.

Selain itu, melalui workshop ini diharapkan para duta kabupaten kota dapat mempersiapkan diri untuk ajang Pesta Kesenian Bali ( PKB) ke 42 yang akan datang. Sebab busana Bali tetap akan diparadekan, dan diikuti seluruh kabupaten kota di Bali.

Sementara itu, Pakar Busana Bali sekaligus dosen Prodi Fashion Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Denpasar, AA Ngr Anom Mayun K Tenaya mengatakan, Bali memiliki 10 jenis kain yang khas diantaranya, bebali, keling, wali, endek, cepuk, gringsing, songket, prada, cecawangan.

“Jenis bebali, wewali dan keling saat ini sudah tidak ditemukan lagi atau mengalami kepunahan, kain-kain itu berasal dari Tengenan Nusa Penida,” kata  Agung Mayun.

Keberadaan kain Bali, sangat erat kaitanya dengan budaya tata cara upacara di Bali.

“Punahnya kain – kain asli Bali akibat dari budaya masyarakat sendiri seperti penyederhanaan upakara, yang biasanya menggunakan kain-kain sakral, akhirnya ditiadakan, ” jelasnya.

Terkait busana adat ke Pura, Ngurah Mayun menjelaskan sudah adanya imbauan dalam penggunaan pakaian adat ke pura. Bagi pemedek perempuan, tidak boleh menggunakan baju kebaya berlengan pendek dan kebaya transparan. Sedangkan penggunaan kamen, diharapkan menggunakan jenis kain atau lembaran.

“Jangan menggunakan kain yang dijarit,  itu namanya rok. Jelas tidak boleh berbusana menggunakan kain dijarit seperti rok ke pura. Saat ini kita mengajak cara menggunakan busana yang rapi, beretika dan sederhana kepada generasi muda, tak harus ribet dan mahal,” terangnya.

Sementara, trend fesyen yang dibawa oleh media saat ini demi tuntutan popularitas trendi, modis dan meniru kalangan selebritis dijadikan sumber rujukan berbusana. Muncul persoalan, bahwa trend fesyen tersebut tidak cocok diterapkan bagi masyarakat Bali, khususnya sebagai rujukan busana ke pura.

Di dalam awig-awig atau pakem berbusana sudah dijabarkan mengenai pakem busana adat Bali warisan leluhur yang lengkap dan sudah mempertimbangkan unsur – unsur estetika dan etika.

“Prinsip berbusana adat Bali memenuhi Triangga, Wesa, Nyasa, Purwadaksina dan Prasawiya,” ungkapnya.

Agung Mayun memaparkan Triangga menata busana berdasarkan kosmologi Hindu, struktur busana mulai kepala, badan hingga kaki. Sedangkan Wesa dimaknai status dalam fase kehidupan, busana anak, dewasa atau orang tua. Selanjutnya, Purwodaksina dan Prasawiya merupakan konsep berbusana seperti kain yang dililitkan di tubuh pria atau wanita. Kalau Wastra pria dililitkan searah jarum jam, sedangkan wanita sebaliknya kain dililitkan berlawanan arah jarum jam.

Dalam workshop yang diikuti oleh duta kabupaten se-Bali itu mempraktekkan penggunaan busana ke pura bagi pria dan wanita yang baik dan benar. (cr02)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.