Jadi Saksi Kasus Penipuan Jual Beli Tanah, Istri Sudikerta Dimarahi Hakim

DENPASAR | patrolipost.com – Ida Ayu Ketut Sri Sumiantini, istri mantan Wagub Bali I Ketut Sudikerta, dimarahi hakim ketika menjadi saksi dalam kasus penipuan jual beli tanah dengan terdakwa Gunawan Priambodo (41), di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (1/10). Pasalnya, ‘Dayu Sudikerta’ ini irit bicara, berbelit-belit dan selalu menjawab tidak tau. 

Hakim I Dewa Budi Watsara selaku ketua majelis hakim, memulai mengorek keterangan Sumiantini terkait perannya sebagai wali dari anaknya Putu Ayu Winda Widiasari yang menjabat sebagai presiden komisaris PT Bangsing Permai. Anak Sudikerta menjadi presiden komisaris karena menjadi salah satu pemegang saham. Pemegang saham lainnya adalah I Wayan Suwandi, adik Sudikerta. Sementara terdakwa Gunawan Priambodo bertindak sebagai presiden direktur PT Bangsing Permai.

“Saya menjadi wali karena waktu itu (2012, saat PT Bangsing Permai didirikan) anak saya yang menjadi presiden direktur baru berumur 15 tahun atau kelas 2 SMA,” tutur Sumiantini yang akrab dipanggil Dayu Sudikerta.

Namun saat hakim Budi mengorek lebih dalam terkait perannya, saksi Sumiantini lebih memilih irit bicara. Dari mulai ditanya terkait PT Bangsing Permai bergerak di bidang apa, tugasnya sebagai wali, dan alamat kantor perusahaan, Dayu menjawab  tidak tahu.
“Percuma dong, jadi wali presiden komisaris kalau tidak tahu apa-apa. Anda jangan main-main. Anda sudah disumpah. Anda sudah bersumpah pada Tuhan,” kata hakim Watsara dengan geram.
Lucunya lagi, saat hakim menanyakan apakah Dayu ada menerima aliran uang dari terdakwa, Dayu kembali mengatakan tidak tahu. Sedangkan terdakwa Priambodo menyebut semua uang yang didapat sebesar Rp 2,4 miliar disetor ke rekening Dayu. Priambodo memiliki bukti transfer tersebut. “Saya tidak pernah mengecek,” jawab Dayu pendek.
Jawaban itu justru membuat hakim murka. “Ini dah, kalau terlalu banyak punya uang. Sampai lupa mengecek. Nggak apa-apa, kan orang kaya raya. Anda ini luar biasa. Ada uang Rp 2,4 miliar tidak tahu. Berarti kekayaan Anda triliunan,” sindir Hakim Budi.
Saat dicecar dengan bukti yang ada, barulah Dayu mengaku bahwa selama ini kalau ada penjualan tanah dirinya tidak dilibatkan. Dayu berdalih direksinya lebih dari satu orang. Terdakwa juga tidak pernah meminta izin saat menjual tanah. “PT Bangsing Permai didirikan waktu Bapak (Sudikerta) masih Wabup Badung, sekitar 2012,” imbuh Dayu.
Hakim anggota, I Gde Ginarsa yang sedari tadi penasaran dengan jawaban Dayu ikut menelisik. Ginarsa mengejar apa alasan mencantumkan anak Sudikerta yang masih di bawah umur menjadi presiden komisaris. “Waktu itu saya program bayi tabung. Selain itu, saya juga pegang perusahaan lain yang juga bergerak di bidang properti,” katanya.
“Ada izin tidak dari suami?” tanya hakim Ginarsa. Dayu menjawab tanpa sepengetahuan suami. “Wah, bagaimana anaknya jadi presiden komisaris, kok bapaknya tidak tahu. Bagaimana ini, sengaja tidak tahu atau ada yang disembunyikan. Buat apa bikin perusahaan tapi gelap,” kata Ginarsa.
Lalu, Hakim mengejar ke mana saja larinya uang yang sudah ditransfer oleh terdakwa, Dayu lagi-lagi menjawab tidak tahu karena tidak pernah mengecek uang ke rekening. “Ini sudah ada keganjilan. Lalu, apa fungsi wali, kalau semua tidak tahu?” desak hakim Ginarsa.
Sikap Dayu itu membuat Hakim Budi geram dengan menyudahi pemeriksaan dan akan dilanjutkan lagi pada persidangan selanjutnya.
“Cukup. Nanti Anda akan saya konfrontir dengan terdakwa. Peran saudara janggal. Masak, ada uang miliaran rupiah tapi tidak tahu. Saudara bisa dipanggil lagi sebagai saksi untuk dikonfrontir,” ketus hakim Watsara.
Mendengar itu, Dayu coba melunakan hati Hakim tapi Hakim Budi tetap pada putusannya.

“Anda jangan plintat plintut. Sudah, sidang kita hentikan. Pemeriksaan Anda sebagai saksi belum cukup. Akan saya periksa lagi lain kesempatan,” tegas hakim Budi dengan nada kesal.
Hakim kemudian memanggil saksi Suwandi. Hakim memperingatkan saksi agar memberikan keterangan yang benar karena sudah disumpah. “Hakim bisa dibohongi, tapi Tuhan tidak,” ujar Watsara.

Suwandi mengaku diajak mendirikan PT Bangsing Permai oleh terdakwa. Suwandi diangkat sebagai direktur. Sama dengan kakak iparnya yang tidak mengetahui kegiatan PT Bangsing Permai dan lebih banyak menjawab tidak tahu.
Suwandi mengaku hanya disuruh tanda tangan oleh terdakwa. Yang tidak masuk akal, Suwandi juga mengaku tidak tahu alamat PT Basing Permai. “Jabatannya tinggi, sebagai direktur. Wah gampang sekali menipu saudara, padahal Anda sarjana bukan tamatan SD atau SR. Antara profesi dan pengakuan tidak cocok,” kata hakim Watsara. “Ini PT apa? PT kok gelap-gelapan,” sindir Watsara.
Hakim yang penasaran menanyakan pekerjaan Suwandi. Adik Sudikerta itu mengaku memiliki apartemen dengan 40 kamar. “Wah, penghasilan Anda tinggi berarti, bisa ratusan juta setiap bulannya. Gaji hakim kalah. Apalagi gaji wartawan, tambah kalah jauh,” ujar Watsara.
Hakim pun meminta Suwandi merenungkan kerugian Rp 2,4 miliar yang diderita korban. Dikatakan Watsara, korban adalah pensiunan yang susah payah mengumpukan uang. Setelah uang terkeumpul uangnya hilang terkena tipu.
“Bayangkan saudara, uang pensiunan yang dikumpulkan itu amblas. Uangnya mengalir ke rekening saksi (Dayu Sudikerta). Saudara pikirkan itu, saudara punya Tuhan. Saya yakin saudara tahu, tapi bilang tidak tahu agar tidak terlibat,” tegas Watsara.
Watsara kembali mengingatkan Suwandi agar berterus terang, sehingga masalah ini bisa terang. “Ingat, doa orang teraniaya itu lebih didengar Tuhan. Dan, manusia itu hidup dengan karmanya. Kalau pensiunan itu tidak kuat jantungnya bisa sakit dan mati. Renungkan kejadian ini,” kata Watsara memberikan nasihat.
Sidang pun dilanjutkan pekan depan dengan agenda konfrontir antara saksi dengan terdakwa. Sementara itu, dalam dakwaan JPU Putu Oka Surya Atmaja diungkapkan, terdakwa Gunawan Priambodo, pada 2 Maret 2012 bertemu saksi Marhendro Anton Inggriyono merupakan marketing agen Era Victory Properti pada PT Anugerah Sejahtera Propertindo. Keduanya lantas menjalin kerja sama dngan terdakwa yang merupakan presiden direktur PT Bangsing Permai Properti.
Terdakwa meminta saksi memasarkan tanah kavling di Pecatu Kuta Selatan seluas 16.640 meter persegi (m2). Selanjutnya saksi Marhendro menjalin komunikasi dengan korban Kurnia Soetantiyo yang ingin mencoba bisnis properti di Bali. Sesuai perintah dari terdakwa saksi Marhendro memasarkan tanah pada korban.
Terdakwa menyebut harga per are Rp 400 juta. Korban tertarik membeli 1.462 m2. Terdakwa kemudian mentransfer uang Rp 100 juta ke rekening PT Anugerah Sejahtera Properindo atau kepada saksi Marhendro sebagai tanda jadi. Selanjutnya saksi Marhendro melaporkan kepada terdakwa.
Terdakwa mengajak pertemuan pada Sabtu (21/7/2012) pukul 14.00 bertempat di Kantor Notaris Ni Ketut Neli Asih, Jalan Nakula, Nomor 8, Legian, Kuta. Terdakwa mengatakan tanah tersebut tidak ada masalah. Notaris juga menyebut tidak ada masalah. Padahal, tanah tersebut masih milik Arifin Susilo Adiyasa. Antara terdakwa dengan notaris rupanya tengah bersekongkol.
Korban pun semakin yakin mau membeli tanah. Total luas tanah kavling yang dibeli 1.592 m2. Korban memberikan uang muka sebesar Rp 1.069.600.000. sedangkan sisanya Rp 5,3 miliar dilakukan pembayaran bertahap sebanyak 18 kali. Selanjutnya korban melakukan pembayaran sebanyak 8 kali sejak 31 Juli 2012 – 28 Februari 2013, hingga mencapai jumlah Rp 2,4 miliar.
Notaris Neli Asih mengecek status tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Setelah dicek, ternyata tanah tersebut bertatus kawasan perlindungan dan lahan hortikultura yang tidak diperuntukkan untuk lahan permukiman. Tapi, terdakwa mengatakan masalah tersebut akan diurus Ketut Sudikerta yang pada saat tersebut menjabat Wabup Badung.
Pada 18 Oktober 2012 pemilik tanah yang sah atas nama Arifin datang ke kantor notaris Neli Asih bermaksud mengambil kembali sertifikatnya. Neli Asih tidak ada menerangkan kepada terdakwa bahwa tanah tersebut telah terjadi perikatan jual beli. Singkat cerita, korban yang merasa tertipu melapor ke polisi. Sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 2,4 miliar. Perbuatan terdakwa diancam Pasal 372 KUHP, 378 KUHP dengan ancaman pidana penjara empat tahun. Terdakwa juga dijerat Pasal 154 UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. (426)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.