Properti Residensial di Denpasar Tumbuh pada Level Terbatas

DENPASAR | patrolipost.com – Indeks harga properti residensial (IHPR) pada triwulan II tercatat 185,92, sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama pada tahun lalu (185,87) dan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 185,44. Hal itu diungkapkan Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali M Setyawan Santoso saat memaparkan hasil survei BI Perwakilan Bali di Denpasar, Rabu (25/9/2019).

Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Bali mencatat harga properti residensial primer di Kota Denpasar hingga triwulan II/2019 mengalami pertumbuhan pada level yang terbatas. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan III/2019, tercermin dari perkiraan IHPR sebesar 187,78 atau tumbuh 1,28 persen (yoy) dibandingkan triwulan III/2018.

Berdasarkan tipe rumah, pertumbuhan tertinggi pada triwulan II tahun ini tercatat pada rumah tipe menengah yang tumbuh 0,50 persen (yoy). IHPR rumah tipe menengah pada triwulan III juga diperkirakan tumbuh sebesar 1,34 persen.

Sementara itu, jika dilihat hasil survei harga properti residensial (SHPR) sekunder untuk triwulan II/2019, menunjukkan perlambatan. Pertumbuhan harga rumah sekunder pada triwulan II/2019 tercatat sebesar 0,37 persen atau melambat tipis dari 0,53 persen pada triwulan sebelumnya.

Berdasarkan tipe rumahnya, lanjut Emsam begitu pria ini kerap disapa, pertumbuhan indeks rata-rata harga properti tipe besar relatif lebih tinggi dibandingkan tipe menengah. Pertumbuhan rumah tipe besar mencapai 0,41 persen dan untuk tipe rumah menengah 0,32 persen.

“Terbatasnya pertumbuhan properti di Bali karena jika dilihat dari sisi perekonomian nasional juga melambat. Penjualan properti tentu tidak bisa dilepaskan dari sisi perekonomian nasional maupun dunia yang mengalami perlambatan,” ucapnya.

Di samping itu, kontestasi politik yang terjadi pada triwulan II/2019 juga turut memengaruhi stagnansi kinerja sektor properti, mengingat pembeli properti Bali didominasi oleh investor dan bukan “end user”.

Namun, tambah Emsam, dengan adanya kelonggaran tentang besaran Loan to Value (LTV) dari sebelumnya 80 persen menjadi 85 persen diharapkan dapat menggairahkan pertumbuhan kredit di sektor properti.

“LTV 85 persen itu maksudnya hanya 15 persen yang dari modal sendiri, sedangkan besaran pinjaman yang dapat diberikan kredit oleh bank 85 persen.

Apalagi ditinjau dari sumber pembiayaannya, pengembang masih mengandalkan dana pinjaman dari bank sebagai sumber pembiayaan pembangunan properti residensial. Hasil survei menunjukkan sumber pembiayaan dari pinjaman bank masih mendominasi (85 persen), diikuti pembiayaan menggunakan dana internal sendiri (11 persen) dan pembiayaan lembaga keuangan non bank (4 persen).

“Dari sisi pembiayaan kepada konsumen, fasilitas KPR tetap menjadi pilihan utama dalam melakukan transaksi pembelian properti,” kata Emsam. (arw)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.