Kompetensi, Perlindungan Hukum Serta Kesejahteraan Wartawan Jadi Perhatian Dewan Pers

Ketua Dewan Pers Prof Mohammad Nuh membuka Sosialisasi Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2019 di Nusa Dua, Bali.

 

Bacaan Lainnya

 

DENPASAR | patrolipost.com – Survey Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) dilaksanakan Dewan Pers sejak tahun 2015. Dewan Pers secara bertahap melakukan survey ini dimulai dengan cakupan wilayah sebanyak 24 provinsi. Tahun kedua cakupan survey diperluas menjadi 30 provinsi. Sejak tahun 2017, survey IKP mencakup seluruh provinsi di Indonesia. Survey IKP ditujukan untuk melihat perkembangan kemerdekaan pers di masing-masing provinsi melalui 3 faktor utama, lingkungan fisik politik, lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum. Penelitian IKP dilakukan terhadap para informan ahli untuk menilai kemerdekaan pers di masing-masing provinsi. Informan ahli survey IKP berasal dari akademisi, pejabat pemerintah, hakim, jaksa, kepolisian serta masyarakat sipil. Mereka diminta pendapatnya atas sejumlah indikator kemerdekaan pers di sepanjang tahun 2018 dalam konteks provinsi masing-masing. Hasil penelitian ini kemudian disajikan dalam bentuk analisa kuantitatif dan deskriptif.

Pemaparan hasil survey IKP yang dilaksanakan di Hotel Santika Siligitha, Nusa Dua, Badung, Rabu (4/12/2019) diharapkan menjadi masukan bagi seluruh stakeholder baik dari Dewan Pers, perusahaan pers, wartawan, pemerintah, kalangan akademis maupun penegak hukum, untuk dapat memberikan kontribusi dalam mendorong dan menjamin pelaksanaan kemerdekaan pers di masing-masing provinsi.

Hasil survey Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang menjadi perhatian khusus menurut Ketua Dewan Pers, Prof Mohammad Nuh antara lain, masih rendahnya afirmasi terhadap orang dengan kebutuhan khusus (disabilitas), jadi belum ramah terhadap anak-anak serta disabiliti.

“Meskipun saya kurang setuju dengan istilah disabiliti, hakekatnya setiap orang punya kemampuan, mungkin terbatas di yang lainnya,” ucap Prof Nuh.

Kemudian berikutnya tentang hoaks yang begitu deras sekarang ini, sehingga yang perlu dilakukan yaitu melakukan “self cencoring” atau identifikasi yang dimulai dari diri sendiri.

“Kemampuan mengidentifikasi melalui dirinya sendiri, jadi dia tahu mana yang fakta atau hoaks,” sebutnya.

Selain itu untuk menghadapi perkembangan jaman wartawan mesti melakukan upgrading melalui peningkatan kompetensi, tujuannya untuk meningkatkan kemampuan sang wartawan dalam menelaah setiap persoalan.

“Disamping kompetensi, wartawan juga mesti diberi perlindungan secara hukum, pasalnya ketika wartawan menjalankan tugasnya mesti terbebas dari segala macam intimidasi,” katanya sembari menegaskan setiap persoalan pers atau pemberitaan mesti diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan dibawa ke ranah hukum (kriminal, red).

“Ketika ada produk jurnalistik yang dipersoalkan, maka tidak boleh menggunakan undang-undang yang lain, tetapi memakai UU Pers yang penyelesaiannya lewat Kode Etik Jurnalistik, tidak melalui mekanisme kriminalisasi,” tukas Prof Nuh.

“Saya buat rumusan ternyata kualitas kebebasan pers itu ada tiga. Pertama, kompetensi wartawan. Kedua, perlindungan hukum terhadap wartawan. Ketiga, kesejahteraan, ini penting sekali,” tuturnya sembari berkelakar bertanya mau jadi wartawan apa mau jadi hartawan. “Tentu menjadi wartawan yang hartawan,” imbuhnya sambil tersenyum.

Distrupsi media memang diakui saat ini terjadi, karena itu Dewan Pers sedang berjuang bagaimana keberlanjutan bisnis media bisa meningkat merujuk pada tiga hal di atas yang berujung pada kesejahteraan wartawan.

“Ini tantangan riil di dunia media, kalau tidak sustain pasti satu-satu akan tumbang dan terjadi PHK,” katanya mengingatkan.

Acara Sosialisasi Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2019 yang dipandu Ketua PWI Bali, IGM Dwikora Putra ini menghadirkan beberapa narasumber antaranya, Waki Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun, Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas, Wariki Sutikno dan Anggota Dewan Pers, Ahmad Djauhar. (473)

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.