Proyek BOPLBF Dihadang Warga, KPH Mabar: Perambahan Hutan Nggorang Bowosie Sudah Berlangsung Sejak 1998

pengelolaan hutan
Kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 di Kabupaten Manggarai Barat, NTT. (ist)

LABUAN BAJO | Patrolipost.com – Progres pengembangan Kawasan Pariwisata Terpadu milik Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BPOLBF) di kawasan otoritatif Nggorang Bowosie Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat tersendat karena diadang sekelompok warga. Proyek yang dimulai sejak Kamis (21/4/2022) diawali dengan pembukaan ruas jalan masuk melalui area Kaper, Desa Golo Bilas Kecamatan Komodo ini terpaksa terhenti setelah mendapatkan pengadangan dari Kesatuan Masyarakat Rancang Buka (KMRB). KMRB kembali melakukan penghadangan pada Senin (25/4/2022).

Koordinator warga Stefanus Herson dalam narasi penolakannya mengatakan, kegiatan pengadangan dilakukan sebagai bentuk penolakan atas pengembangan kawasan wisata terpadu sebab berada di atas lahan milik warga dan dilakukan tanpa berkoordinasi dengan warga sebagai pemilik lahan.

“BPOLBF selama ini tidak pernah berdiskusi dengan kami terkait dengan pembangunan ini, padahal ini tanah kami, sudah kami tempati sejak tahun 1999,” ujarnya, Kamis (25/4/2022).

Klaim kepemilikan lahan ini pun mendapatkan bantahan dari Kepala Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Kabupaten Manggarai Barat Stefanus Nali. Saat diwawancarai di ruangan kerjanya, Selasa (26/4/2022), Stefanus menyampaikan bahwa klaim kepemilikan lahan oleh KMRB sejak tahun 1999 adalah keliru.

Ia menjelaskan Kawasan Hutan Nggorang Bowosie RTK 108 sudah lebih dahulu ditetapkan menjadi kawasan hutan pada tahun 1983 melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 89 Tahun 1983.

“Terkait status kawasan hutan Nggorang Bowosie RTK 108 itu sudah ditetapkan sejak tahun 1983 melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 89 Tahun 1983. Sejak SK itu dikeluarkan untuk KH Nggorang Bowosie dari tahun 93 – 97 dilakukan penataan batas bersamaan dengan wilayah ulayat Boleng , Pacar, sebagian Macang Pacar dan Mbeliling. Dan itu sudah selesai semua dimana untuk total luas KH Nggorang Bowosie itu 20.984,48 Ha dengan total pilar 2.995 buah,” ucap Stef.

Dalam penetapan tata batas antara lahan masyarakat dan kawasan hutan, kawasan hutan dimulai dari Toko Roti Teresa hingga area depan kantor PU Mabar.

“Pilarnya sampai di atas toko roti menyusuri jalan sampai depan kantor PU naik ke atas dan di belakang pemukiman Kaper, sebelah kiri jalan itu kehutanan dan kanan masyarakat, rumah warga yang di depan SPBU Wardun itu masuk kawasan hutan,” ujarnya.

Ia melanjutkan seiring berjalannya waktu masyarakat mulai melakukan perambahan pada area KH Nggorang Bowosie ini. Perambahan ini pertama kali terjadi pada tahun 1998, tepat pada area pemukiman depan SPBU Wardun saat ini. Saat itu, sesuai data Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai tercatat jumlah perambah mencapai 53 orang.

“Memang perambahan yang ada sudah dilakukan sejak tahun 1998, di depan SPBU Wardun dengan jumlah perambah 53 orang, itu sesuai data Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai saat itu,” terangnya.

Kegiatan Perambahan ini ujar Stef, sudah ditindaklanjuti melalui surat Camat Komodo dengan nomor 054.4/670/XII/1998 tertanggal 22 Desember 1998 yang kemudian dilanjutkan dengan surat Kepala Desa Persiapan Gorontalo dengan nomor Pem.054.4/01/XII/1998 tanggal 23 Desember 1998 perihal larangan untuk membagi lahan dan menebas Hutan Tutupan Negara kepada saudara Ibrahim A Hanta dkk.

Serta surat Camat komodo nomor 054.4/04/I/1999 tanggal 6 Januari 1999 perihal larangan untuk membagi lahan dan menebas Hutan Tutupan Negara dimana penyelesaiannya saat itu berupa membuat surat pengakuan oleh masing masing pelaku. Meskipun telah dikeluarkannya surat larangan perambahan baik oleh camat Komodo maupun Kepala Desa persiapan Gorontalo, jumlah perambah ternyata semakin meningkat.

“Sejak tanggal 15 Januari 2005 aktifitas di dalam kawasan hutan khususnya pada area Patung Komodo sedikit berkurang dan dianggap status quo, yang sudah ada dibiarkan tapi jangan ada penambahan lahan baru,” ujarnya.

Meskipun demikian perambahan diketahui masih tetap terjadi hingga pada puncaknya di tahun 2011, Bupati Manggarai Barat saat itu, Fidelis Pranda mengeluarkan surat dengan Nomor EK.500/0/XII/2013 tentang usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia dengan total luas usulan mencapai 6.2888,54 Ha.

“Karena persoalan itu, kebijakan bupati saat itu harus diminta ke Kementrian Kehutanan supaya yang ada di depan (SPBU) dibebaskan dari kawasan hutan. Maka  melalui perubahan tata ruang wilayah provinsi seluruh NTT kita mengajukan perubahan peruntukan kawasan hutan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Saat itu masyarakatnya hanya yang ada di depan SPBU saja, saat itu hanya mereka tidak ada yang lain,” tuturnya.

Stefanus pun menambahkan surat Bupati Manggarai Barat Nomor EK.500/0/XII/2013 perihal usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan akhirnya dijawab pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016 tentang Perubahan Peruntukan kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 54.163 ha, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas 12.168 ha, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas 11.811 ha di Provinsi NTT.

Dalam keputusan Menteri tersebut beserta lampiran peta menunjukan di wilayah Kabupaten Manggarai Barat RTK 108 Nggorang Bowosie terdiri dari 4 poligon yakni: 2 poligon di Desa Golo Lujang Kecamatan Boleng, 1 poligon di Desa Gorontalo dan 1 Poligon di Kelurahan Wae Kelambu Kecamatan Komodo.

Untuk poligon Desa Gorontalo luasannya ± 38 ha yang merupakan hasil perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Provinsi NTT dengan peruntukan Alokasi Penggunaan Lain (APL).

“Perambahaan secara besar besaran itu terjadi tahun 2015 yang di Wae Mata di belakang 38 itu dan kita langsung melakukan operasi terpadu, kita bongkar semua yang ada di dalam kawasan hutan itu basecamp dan pondok. Terakhir kita tangkap tangan pelaku ada 3 orang dan langsung lapor ke Polsek Komodo, diambil keterangan sampai dengan olah TKP. Hanya setelah itu kami sudah tidak tau kelanjutannya, praktis sejak 2015 – 2017 tidak ada kegiatan perambahan,” ucapnya.

“Namun sejak 2018 mulai lagi kegiatan, kita lakukan operasi tim terpadu lagi, tapi belum tangkap tangan, 2019 hingga 2020, saat itu kita tangkap tangan 8 orang di Wae Nahi. Dan kita ambil keterangan setelah itu berapa hari kemudian kita melakukan pulbaket kita temukan ada 11,17 Ha yang perambahan baru, jadi ditambah 59,87 Ha perambahan lama di tahun 2015, maka total perambahan 71,04 Ha hingga September 2020,” sambungnya.

Lebih jauh Stefanus menjelaskan bahwa sejak tahun 2015 sampai tahun 2018 kegiatan perambahan dilaksanakan secara sporadik dan secara tersembunyi dan hanya dilakukan oleh oknum – oknum tertentu saja namun timnya kesulitan untuk menangkap para pelaku yang telah melarikan diri saat petugas tiba di lapangan.

Stef juga menjelaskan terkait keberadaan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang kemudian melahirkan tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) guna mendata kepemilkan lahan di dalam kawasan hutan yang dikuasai masyarakat.

Sebagai salah seorang anggota dalam IP4T tersebut hasil identifikasi kepemilikan yang diajukan oleh sekitar 200 an pemohon ini mendapati luas perambahan seluas 13,18 Hektar. Namun hasil ini tidak menjadi persoalan karena lahan 13,18 tersebut berada di dalam area seluas 38 Ha hasil review Tata ruang Provinsi NTT.

“Hasil IP4T yang kita identifikasi kepemilikan itu ada 13 hektar yang mana hasil akhirnya berada didalam lokasi 38 hasil review Tata Ruang Provinsi. Jadi Tidak ada persoalan. Kalau dilihat dari peta yang dihasilkan dengan hasil review sesuai dengan SK 357 perubahan peruntukan kawasan hutan hasil IP4T seluas 13,18 Ha berada di atas lahan 38 Ha dimana itu sebelumnya sudah dikeluarkan,” ujarnya.

Hasil kerja tim IP4T ini selanjutnya diusulkan ke Kementerian Kehutanan, namun Stefanus tidak mengetahui dengan persis apakah surat hasil tersebut sudah diserahkan oleh ketua Tim IP4T yang saat itu dijabat oleh Kepala BPN Mabar, Marthen Ndeo.

Stefanus juga menambahkan guna mengakomodir kepentingan masyarakat yang merasa dirugikan dengan hasil inventarisir Tim IP4T ini, masyarakat diberikan ruang untuk mengajukan permohonan melalui program TORA.

“Dalam beberapa kesempatan, kita sudah sampaikan ke masyarakat, kalau misalnya ada yang dirugikan tolong diajukan, jangan melakukan aktifitas di lapangan, silakan ajukan lagi, kita masih buka ruang. Tahun 2018 melalui program Tora itu diberikan kesempatan dan diundang dalam sosialisasi di Exotic Hotel Kades Gorontalo hadir dan diberikan kesempataan oleh KLHK untuk diajukan melalui program TORA tapi mereka tidak mengajukan, yang mengajukan hanya Golo Bilas, Melo, Cecer, dan Golo Welu. Tetapi sampai terakhir proses itu, Desa gorontalo tidak ada pengajuan,” tutupnya. (334)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.